MUJAHIDIN
08 Nov 2008
Oleh Umar Abduh (Mantan Napol Woyla)
BAGI
trio terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron dan Imam
Samudra, dijuluki teroris oleh media massa lokal dan internasional, atau
oleh siapapun juga, tidak membuat mereka marah atau kecil hati. Mereka
yakin, apa yang mereka lakukan adalah jihad. Sehingga mereka pun yakin
Allah akan memberi mereka gelar mujahid.
Bahkan, mereka sama
sekali tidak merasa keberatan dengan apapun yang ditempuh pemerintah di
dalam menjalankan hukuman mati atas diri mereka. Ditembak mati dengan
bedil, dipancung, dialiri listrik, atau cara lainnya, bagi mereka sama
saja. Semuanya menuju mati syahid. Bagaimana kita memposisikan Amrozi,
Ali Ghufron dan Imam Samudra : Mujahid atau Teroris? Yang jelas, mereka
juga manusia. Sebagai manusia, mereka termasuk yang mempunyai ketaatan
kepada ajaran agamanya, mempunyai keseriusan di dalam mendalami ajaran
agamanya, mempunyai keberpihakan kepada umat Islam.
Kalau toh
akhirnya ada yang menilai mereka mengalami distorsi di dalam memaknai
dan mempraktekkan jihad, itu urusan mereka dengan Allah. Bagi yang
sepaham dengan ‘ijtihad’ mereka, maka Amrozi, Ali Ghufron dan Imam
Samudra adalah Mujahid. Sebaliknya, bagi yang tidak sepaham, ketiganya
dijuluki Teroris.
Amrozi cs adalah alumni Mujahidin Afghan
Alumni Afghan
Dua
dari trio terpidana mati Bom Bali I adalah alumni Afghan. Ali Ghufron
alias Mukhlas adalah alumni Afghan angkatan kedua (masuk pada akhir
1987), satu angkatan dengan Abu Rushdan dan Mustapha alias Pranata
Yudha. Sedangkan Imam Samudra angkatan kesembilan (masuk pada tahun
1991), seangkatan dengan Ali Imran (adik Ali Ghufran alias Mukhlas, yang
juga terlibat kasus Bom Bali I namun tidak divonis hukuman mati).
Rombongan
pertama dari Indonesia yang berjihad ke Afghan terjadi sekitar akhir
1984 hingga awal 1985, antara lain diikuti oleh Sa’ad alias Ahmad
Roihan, yang juga terlibat dalam kasus Bom Bali I, bahkan beberapa kasus
peledakan sebelumnya. Abu Dujana menutup rombongan warga Indonesia
berlatih militer untuk berjihad di Afghan. Abu Dujana sebagaimana Ahmad
Roihan juga sudah ditangkap aparat.
US
dead: 58,159; 2,000 missing; wounded: 303,635 / South Vietnam dead:
220,357; wounded: 1,170,000 / South Korea dead: 4,407; wounded: 11,000 /
Thailand dead: 1,351 / Australia dead: 520; wounded: 2,400* / New
Zealand dead: 37; wounded: 187 / Total dead: 285,831 - Total wounded:
~1,490,000
Sidney
Jones, Direktur International Crisis Group (ICG) Biro Jakarta, pada
salah satu kesempatan pernah mengatakan, kalau saja orang-orang seperti
Imam Samudra tahu bahwa ‘proyek’ Aghan merupakan rancangan CIA, niscaya
mereka tidak akan mau pergi ke Afghan untuk berlatih militer dan
berjihad. Benarkah demikian?
Tidak! Meski mereka tahu CIA berada
di belakang ‘proyek’ Afghan, tekad dan semangat jihad mereka membebaskan
Muslim Afghan dari penjajahan rezim komunis Soviet, dapat mengalahkan
realitas itu.
Sebagai superpower AS seharusnya mampu mengirimkan
sejumlah pasukannya untuk mengusir komunisme Soviet dari Afghanistan.
Namun kala itu AS belum pulih dari trauma akibat mengalami kekalahan
siginfikan pada perang Vietnam yang berlangsung sejak 1961 hingga 30
April 1975. AS kehilangan lebih dari 58.000 prajuritnya dan menghabiskan
lebih dari 15 miliar dollar AS.
Presiden AS terpilih, Kennedy,
pada tahun 1961 mengirimkan 400 tentara ke Vietnam. Tahun berikutnya,
Kennedy menambah pasukannya di Vietnam menjadi 11.000 tentara. Di tahun
1968, AS mengirimkan 500 ribu pasukannya ke Vietnam, belum termasuk
berbagai pasukan dari Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Filipina
dan Thailand yang berjumlah 90.000 orang.
Perang Afghan sendiri
berlangsung awal 1980-an hingga awal 1990-an. AS tidak mau mengorbankan
prajuritnya sebagaimana terjadi di Vietnam. Maka, pilihan jatuh kepada
pemuda Islam di pelosok dunia yang terkenal dengan semangat jihadnya,
termasuk dari Indonesia. Osama bin Laden menjadi sosok yang sangat
penting, di samping tokoh-tokoh lainnya, di dalam merekrut dan
memfasilitasi pemuda-pemuda Islam yang mau berjihad ke Afghan.
Membangkitkan Harimau
Sejak
1990 hingga 1995, alumni Afghan asal Indonesia berangsur-angsur pulang
ke tanah air. Sebagian melanjutkan jihadnya ke Moro (Philipina),
menghidupkan Kamp Hudaibiyah hingga akhir 1990-an.
Di Afghan,
sebelum berjihad mereka melengkapi diri di Kamp Latihan dengan berbagai
hal, seperti menggunakan senjata, kursus mengenali berbagai jenis bahan
kimia dan meracik bahan peledak (bom), kursus menggunakan tank tempur,
latihan tempur pada berbagai medan perang. Namun ketika kembali ke tanah
air, keterampilan itu sama sekali tidak digunakan untuk melakukan aksi
teror. Karena, mereka sama sekali tidak bercita-cita menjadi teroris,
apalagi di negerinya sendiri.
H. Rachmat Basoeki : Jangan Lupakan Poso
Jangan Lupakan Poso
Akan
tetapi sejak tragedi 25 Desember 1998, ketika umat Islam sedang
menjalankan shaum Ramadhan, dan umat Kristiani masih dalam suasana Natal
yang seharusnya damai penuh kasih.
Tiba-tiba kedamaian itu dirobek-robek oleh pemuda kristiani yang dalam keadaan mabuk memasuki Mesjid kemudian membacok Ridwan.
Inilah kasus Poso pertama, yang mengawali kasus-kasus Poso lainnya.
Sekitar
tiga pekan kemudian, 19 Januari 1999 pecah lagi kasus Ambon, yang
diawali dengan aksi pemalakan yang dilakukan pemuda Kristen terhadap dua
pemuda Muslim.
Konflik berlanjut secara meluas dan
berdarah-darah. Hingga puncaknya terjadi pada 24 Desember 1999 hingga 7
Januari 2000, yang dinamakan kasus Tobelo-Galela, dengan korban
terbanyak dari kalangan Muslim. Ada yang menyebutkan jumlah korban
mencapai 3000 jiwa, dan 2800 di antaranya Muslim.
Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon
Baca Buku Rustam Kastor : Konspirasi RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon
Menurut
versi Gus Dur, korbannya hanya lima orang. Sedangkan menuruut versi Max
Tamela, Pangdam Pattimura kala itu, korban yang diakuinya berjumlah 771
jiwa, mayoritas Muslim.
Belakangan diketahui, pada tragedi
pembantaian di Tobelo-Galela ini, ada keterlibatan Sinode GMIH (Gereja
Masehi Injil di Halmahera), yang mengkoordinir pengungsian umat Kristen
ke Tobelo berjumlah sekitar 30.000 orang. Pengungsian dilakukan secara
bertahap sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Bahkan,
pada Jumat 24 Desember 1999 dengan alasan pengamanan gereja, diangkut
ratusan warga kristen dari Desa Leloto, Desa Paso dan Desa Tobe ke
Tobelo. Mereka datang mengendarai truk dengan berbagai atribut perang
seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mei
2000, pecah lagi kasus Poso ketiga. Ratusan warga pesantren Walisongo,
dibantai oleh Tibo dan kawan-kawan. Belakangan diketahui, ada
keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang
berpusat di Tentena. Juga, sejumlah tokoh (16 orang), sebagaimana
disebutkan Tibo sebelum dieksekusi mati.
Peristiwa-peristiwa itu
ibarat membangkitkan harimau yang sedang istirahat. Maka meledaklah aksi
teror yang pertama kali dilakukan para alumni Afghan, yaitu peledakan
Bom di Kediaman Kedubes Philipina. Aksi peledakan itu terjadi pada
tanggal 01 Augst 2000. Alasannya, para pelaku pemboman menduga Philipina
secara ilegal turut mengirimkan senjata ke Ambon (Maluku) yang kala itu
sedang konflik, dan tentu saja menguntungkan salah satu pihak yaitu
kelompok merah (kristen).
|
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 8:43 am | |
|
Kemudian,
pada malam Natal 24 Desember 2000, terjadi ledakan di sejumlah gereja
di berbagai kota di Indonesia, seperti di depan Gereja Katedral (Jakarta
Pusat), Gereja Santo Yosef, dan halte bus sekolah katolik Marsudi Rini
di Jalan Matraman Raya (Jakarta Timur), Gereja Koinonia (di Jatinegara,
Jakarta Timur), juga gereja dan sekolah Kanisius, Jalan Menteng Raya
(Jakarta Pusat). Ledakan juga terjadi di dekat gereja di Medan, Sumatera
Utara, Mojokerto Jawa Timur, Mataram NTB dan Pekanbaru dan Batam Riau,
serta Bekasi. Alasannya jelas, merupakan peringatan keras kepada
kalangan Kristen terutama tokoh rohaniwan, yang sejumlah petinggi
gerejanya justru menjadi aktor intelektual tragedi pembantaian Muslim di
Ambon (Maluku) dan Poso.
Aksi Pamer Kekuatan Laskar Jihad
Februari
2001 terjadi lagi pengusiran dan pembantaian terhadap warga Madura di
Sampit, yang dilakukan oleh Dayak Kristen dan animis. Tragedi
Pemenggalan kepala warga Madura oleh suku Dayak dilakukan secara
demonstratif di siang hari dan di depan kamera teve lokal dan
internasional yang sedang meliput. Dua bulan kemudian, April 2001, pecah
lagi kasus Poso ke-empat.
Meski tidak ada kaitannya dengan kasus
Sampit, Ambon dan Poso, yang jelas pada 11 September 2001, terjadi
tragedi WTC 911 di negerinya Bush. Tudingan teroris yang dilekatkan
kepada Islam, mulai disosialisasikan Bush. Kekhawatiran Bush terhadap
aksi terorisme yang dilekatkan kepada Islam, ibarat senjata makan tuan.
Perang melawan terorisme pun dicanangkan, karena AS (CIA) yang paling
tahu kualitas mujahid alumni Afghan. Ibarat sang guru yang tahu betul
kualitas murid-muridnya.
Setahun kemudian, 12 Oktober 2002,
barulah meledak kasus Bom Bali I yang menewaskan 202 korban jiwa dan 350
orang lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Secara keseluruhan,
korban tewas pada kasus Ambon, Poso dan Sampit, terutama dari pihak
Islam, jumlahnya puluhan bahkan ratusan kali jauh lebih besar
dibandingkan dengan korban tewas pada kasus Bom Bali I dan II.
Kurang
setahun dari kasus Bom Bali I, terjadi peledakan di depan lobi Hotel JW
Marriott, tanggal 5 Agustus 2003 sekitar pukul 12.40 wib, menyebabkan
10 orang tewas dan 152 luka-luka. Setahun kemudian, terjadi Bom Kuningan
(9 September 2004), di depan Kedubes Australia jalan HR Rasuna Said,
Jakarta. Setahun kemudian, terjadi Bom Bali II (01 Oktober 2005).
Sekitar sebulan kemudian, Doktor Azhari yang selama ini menjadi hantu
teroris berhasil ditembak mati, di kawasan Batu, Malang, pada 09
November 2005.
Adult Material The Picture Tell Everything
Objektif dan Adil
Pasca
tertembaknya Azahari, kasus peledakan betul-betul terhenti, sampai saat
ini. Namun, potensi teror tetap ada, bila merujuk pada adanya
penangkapan di Palembang (01 Juli 2008) dan Kelapa Gading (21 Oktober
2008), yang menjadikan target peledakannya Depo Pertamina Plumpang,
Jakarta Utara.
Meski Azahari sudah ditembak mati, dan tiga
ratusan anggota jaringan teroris sudah ditangkap, termasuk tokoh-tokoh
penting seperti Abu Dujana, para pengamat pun menyatakan prediksinya
tentang potensi destruktif dari gerakan terorisme Jama’ah Islamiyah
tinggal sepuluh persen saja namun potensi teror dinyatakan tetap ada,
bahkan pihak kepala Polri yang baru menyebutkan terorisme kini justru
ada di mana-mana. Dengan alasan, Noordin M Top yang selama ini dinilai
ahli melakukan rekrutmen, dinyatakan belum tertangkap. Artinya, meski
Amrozi cs ditembak mati sekalipun, potensi teror masih tetap tinggi.
Lantas,
bagaimana mengeliminasi potensi teror sebagaimana terjadi selama ini?
Semua pihak seyogyanya, terutama pemerintah harus bersikap objektif dan
berlaku adil lihat akar masalahnya. Ini resepnya. Akar masalahnya,
pertama, ada pembantaian yang dilakukan umat Kristiani terhadap umat
Islam baik di Ambon (Maluku) maupun di Poso. Ini bukan konflik
horizontal biasa. Fakta ini diabaikan, bahkan dipaksakan menjadi konflik
horizontal biasa, yang dimulai dari adanya pertikaian antara preman
dari kedua belah pihak. Padahal, faktanya tidaklah demikian.
Kamis,
25 Jan 2007, Ust. Ahmad didampingi beberapa tokoh Forum Umat Islam,
termasuk Ust. Abu Bakar Ba’asyir dari MMI dan Habib Rizieq dari FPI,
mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta Rekaman Video Yang
Menjijikkan Yang terjadi sesungguhnya adalah ummat non Muslim
(Kristen-Katholik) sebagai pihak yang memulai pertikaian ini, yang
diyakini ada keterlibatan gereja serta tokoh-tokoh masyarakat
Kristen-Katholik di sana sebagai perancang aksi (aktor intelektual).
Mereka memulai penyerangan dan pembunuhan, sedangkan ummat Islam hanya
melakukan reaksi balik, sekaligus dalam rangka mempertahankan diri.
Bantuan yang datang dari luar titik konflik, karena ummat Islam
menyadari posisi aparat baik pusat maupun daerah meberi porsi berat
sebelah, sama sekali tidak melindungi masyarakat muslimnya.
Akar
masalah kedua, sikap arogan dan tidak loyal kalangan Kristen-Katholik
(dan kemudian Hindu). Sikap arogan ini terjadi terutama di daerah-daerah
tertentu yang masyoritas penduduknya non-Muslim. Pengusiran hingga
pembantaian (muslim cleansing) terjadi di beberapa daerah-daerah ini.
Sedangkan di daerah-daerah yang masyoritas penduduknya Muslim, umat
Kristen-Katholik dan Hindu tidak pernah ada pengusiran apalagi
pembantaian. Dari daerah-daerah ini pula ancaman dan gertakan memisahkan
diri dari NKRI sering dikumandangkan. Ini menunjukkan bahwa non-Muslim
(kecuali umat Budha) secara konsisten menebar benih dan memang tidak
loyal kepada NKRI.
Seharusnya, pemerintah dan aparat keamanan
mendorong tokoh Kristen-Katholik berjiwa besar, dengan mengakui
kekeliruan sebagian ummatnya maupun tokoh gereja, yang secara sengaja
menjadi aktor intelektual dalam pembunuhan umamt Islam. Permintaan maaf
tersebut dilakukan secara terbuka, sehingga terbaca oleh alumni Afghan,
insya Allah hal tersebut dapat menyejukkan hati mereka.
Selain
itu, aparat juga harus berlaku adil. Dalam menangani kasus Poso yang
berkepanjangan, misalnya, untuk operasi pemulihan keamanan yang
targetnya pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen, aparat
menggunakan sandi Operasi Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama
ditujukan kepada komunitas Islam, aparat menggunakan sebutan Operasi
Raid yang bermakna serbu atau basmi, hal ini mengingatkan kita pada
racun pembasmi nyamuk. Ini jelas tidak adil dan sangat provokatif.
Setidaknya menimbulkan kegeraman.
Saya yakin mereka tidak
bercita-cita jadi teroris. Mereka manusia biasa saja. Namun bila ratusan
(atau ribuan) saudara seagamanya dibantai oleh saudara lainnya yang
berbeda agama, jelas dan pasti mereka tentu tidak mungkin berpangku
tangan. Ke Afghan yang jauh saja mereka siap bersabung nyawa. Apalagi
hanya ke Ambon dan Poso. Demikian halnya soal keberanian dalam jihad,
saya pastikan bahwa ummat Islam Indonesia memiliki sangat banyak pemuda
muslim yang jauh lebih berani dan pintar dari Azahari atau Amrozi cs,
apalagi kalau hanya sekedar meletakkan sebuah atau beberapa rangkaian
bom di tempat-tempat yang tidak beresiko. Masalahnya, ummat Islam yang
potensinya lebih baik tersebut masih diberi kesadaran dan akal sehat,
dan yang lebih penting lagi adalah apakah pihak pemerintah punya kemauan
politik untuk menyelesaikan atau tidak?
saramuslim
|
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:34 am | |
|
16-19 April 2000 (Kasus Poso II)
Minggu
16 April 2000, di Terminal Poso dua pemuda pemabuk asal Desa Lambodia
dan Lawanga (desa Islam dan Kristen) terlibat pertikaian. Warga kedua
desa saling serang, aksi bentrok massa meluas ke daerah sekitar Poso,
juga menyulut bentrokan antara Kelompok Merah dengan Kelompok Putih.
Dari peristiwa ini sedikitnya tiga orang tewas, empat orang luka-luka,
267 rumah terbakar, enam mobil terbakar, lima motor hangus, tiga gereja
hancur, lima rumah asrama polisi hancur, ruang Bhayangkari Polda
terbakar.
16 Mei 2000
Selasa 16 Mei 2000, Dedy seorang pemuda
dari desa Kayamanya (suku Gorontalo) tengah mengendarai motor Crystal
pada malam hari, tiba-tiba dihadang sekelompok pemuda Kristen yang mabuk
di Desa Lambogia. Dedy sempat melarikan diri dengan motornya, namun
terjatuh sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Setelah diperban,
kemudian Dedy melaporkan pada teman-temanya di desa Kayamanya, bahwa ia
dibacok oleh pemuda kristen Lambogia.
17 Mei 2000
Rabu 17 Mei
2000, warga muslim Kayamanya (sekitar 20 orang beserta aparat)
mendatangi Kelurahan Lambogia untuk mencari oknum pelakunya namun
disambut dengan serbuan panah/peluncur dari warga Lambogia. Dan pada
malamnya, warga Kayamanya membakar Desa Lambogia sekitar 400 rumah serta
sebuah gereja Beniel.
19 Mei 2000
Jum’at 19 Mei 2000,
ditemukan mayat Muslim korban pembantaian di Jalan Maramis kelurahan
Lambogia, dengan luka bacokan dan leher tertusuk panah. Kemudian warga
muslim terpancing emosi dan bergerak kembali membakar gereja Advent dan
sebuah gereja besar dekat terminal, gedung serba guna, SD, SMP dan SMA
Kristen. Warga kristen mengungsi ke kelurahan Pamona Utara (Tentena) dan
Tagolu yang merupakan basis Kristen.
Setelah kejadian tersebut,
umat Islam di Kelurahan Kowua bersiaga penuh mengantisipasi serangan
balasan. Seorang muallaf bernama Nicodemus yang kebetulan bekerja di
Tentena ditugaskan untuk memantau perkembangan warga Kristen di Tentena.
Setelah 2 minggu kemudian, Nico kembali ke Poso karena merasa dirinya
sedang diintai. Namun dari situ muncul kesepakatan untuk
menginformasikan melalui kata Sandi Pak Nasir (Nashara) datang berobat
lanjut ke Poso berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani.
22 Mei 2000
Senin
22 Mei 2000, Pak Maro (muallaf) dari kelurahan Lawanga, yang disusupkan
di Kelurahan Kelei, datang ke kediaman Ust. Abdul Gani, membawa pesan
akan ada penyerbuan pada shubuh hari. Pak Maro menyamar dengan memakai
kalung salib dan mentato tubuhnya. Di Kelei yang merupakan basis kristen
pernah diadakan latihan militer. Jam 5.30 sore ada interlokal dari
Nicodemus di Tentena ke rumah pak Abdul Gani memberitakan, bahwa “Pak
Nasir (Nashara) akan berkunjung obat ke Poso malam ini atau besok.”
Jam
7 malam, seorang pemuda bernama Heri Alfianto yang juga ketua Remaja
Masjid Kowua memberikan informasi bahwa di rumahnya yang kebetulan
terdapat TUT (Telepon Umum Tunggu), ada seorang Kristen yang diduga
ingin menggunakan jasa telepon bercerita kepadanya bahwa pada jam 2
malam akan ada penyerangan dari masyarakat Flores (Kristen). Sekedar
gambaran, Heri Alfianto dilihat dari raut wajahnya mirip orang Kristen
karena ibunya berasal dari Manado yang muallaf, sehingga orang kristen
mengira Heri juga orang Kristen. Penyerangan dilakukan per kelompok
kecil dengan sasaran KBL (Kayamanya, Bonesompe, Lawanga) dan menculik
tokoh-tokoh Islam Poso, antara lain Haji Nani, Ust. Adnan Arsal, dll.
Pada
malam itu juga dikumpulkan para tokoh yang tergabung dalam “Forum
Perjuangan Umat Islam” yang terbentuk sejak kerusuhan Poso jilid I di
rumah Ust. Adnan Arsal dan langsung mengkoordinasikan pembagian tugas
penjagaan di pos-pos yang telah ditentukan. Pertemuan itu selesai jam
21.30. Pada malam itu sudah tersebar isu penyerangan terutama di
Kecamatan Poso Pesisir, sehingga setiap warga, baik Islam dan Kristen,
berjaga-jaga mengamankan diri.
Pada jam 24.00 rombongan Muspida
beserta Ketua DPRD Tk.II Akram Kamarudin, menenangkan warga,
memberitahukan kepada warga Poso bahwa berdasarkan informasi Kapolsek
Pamona Utara, Ramil Pamona Utara dan Camat Pamona Utara isu penyerangan
itu tidak benar dan menyesatkan. Akhirnya warga yang tadinya berjaga di
pos-pos bubar dan kembali ke rumah, kecuali warga di Kelurahan Kowua.
Bahkan pemuda Kowua membantah berita dari Muspida tersebut karena yakin
dengan info dari Nico di Tentena.
Setelah itu muncul tanda bahaya
berupa kentungan pada tiang listrik dari desa seberang sungai, tepatnya
di PDAM, Kelurahan Gebang Rejo. Kemudian dikonfirmasikan melalui
telepon ke Ust. Adnan Arsal yang tinggal di Gebang Rejo, namun dijawab
bahwa sampai saat ini belum ada tanda pengerahan massa yang melewati
Desa Gebang Rejo. Tak berapa lama, Pak Adnan Arsal memberitakan memang
ada penyerangan dilakukan hanya oleh kelompok kecil berpakaian ninja..
|
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:44 am | |
|
23 Mei 2000 (Kasus Poso III)
Selasa
23 Mei 2000 sekitar pukul 02.00 wita terjadi kerusuhan yang dipicu oleh
13 “pasukan ninja” bersenjatakan kelewang, senjata pelontar dan tombak.
Salah satu dari tiga ninja yang berhasil ditangkap adalah perempuan
berumur sekitar 25 tahun. Salah seorang lainnya mengaku warga trans
Beteleme asal Nusa Tenggara. Pasukan ninja ini beraksi dengan mengintai
warga yang melintas di poros jalan Kelurahan Kayamanya. Siapa pun yang
melintas di poros jalan itu mereka bacok.
Kelompok ninja tersebut
membawa sandera (Pak Alwi, pegawai BNI), dibawa ke Desa Kayamanya
dengan tujuan mencari Haji Nani Lamusu. Dari pihak Polres, yakni Bapak
Serma Kamaruddin Ali (47) yang ingin menyelamatkan sandera dan mencoba
bernegosiasi, berkata: “Saya ini polisi”, sembari mencabut pistol. Namun
Pak Kamarudin keburu tewas di tempat dibacok kelompok ninja itu.
Sedangkan pak Alwi (sandera) selamat dan melarikan diri. Mereka berhasil
membakar rumah Haji Nani Lamusu, dan terus maju ke desa Moengko Baru,
di situ didapati seorang mantan lurah, Pak Abdul Syukur (40) yang ingin
memukul tiang listrik tanda bahaya dibacok hingga tewas. Selain itu yang
kena bacok dan langsung tewas Baba (62) warga kelurahan Moengko Baru.
Sebagian dari “pasukan ninja” saat dikejar oleh masyarakat langsung
bersembunyi di kompleks Gereja Katolik di Kelurahan Kayamanya.
Pada
hari yang sama, beredar isu yang isinya semua rumah-rumah ibadah
(Gereja) di sekitar Kota Poso akan dibakar dan sejumlah tokoh-tokoh
kristen akan diculik. Berdasarkan isu itu, sejumlah umat kristen
mengungsi ke asrama-asrama Kodim dan Polres Poso.
24 Mei 2000
Rabu
dinihari 24 Mei 2000, terjadi penyerangan mendadak dari sekelompok
orang berpakaian ala ninja ke beberapa pos pengamanan di beberapa
kantong muslim. Berikutnya, warga Kelurahan Kayamanya (Islam) hendak
melakukan penyerangan ke warga Kelurahan Lombogia dan kantong-kantong
permukiman Kristen lainnya. Polisi menghalangi niat itu. Tapi kerusuhan
tak bisa dibendung. Akibatnya, tiga orang tewas; salah satunya polisi
(Serda Pol Rudy yang tertembak senjata rakitan) dan 15 orang luka-luka.
26 Mei 2000
Jumat
26 Mei 2000, Pasukan Merah yang berjumlah ribuan mengepung dan berusaha
menguasai kota Poso. Tetapi di perbatasan kota mereka ditahan oleh
Komando Jihad yang berjumlah sekitar 900 orang. Akibat kebiadaban
Pasukan Merah, sekitar 1500 muslim tewas dan hilang.
Jumat 26 Mei
2000, puluhan warga muslim Kecamatan Lage berencana mengungsi ke Poso
Kota dengan menumpang delapan buah mobil. Ketika rombongan tiba di
Togolu, mobil-mobil mereka dicegat oleh Kapolsek dan Camat Lage.
Kapolsek dan Camat menyuruh pengungsi kembali ke kampung dengan alasan
Laskar Kristen sudah dipergikan. Akhirnya, rombongan mengungsi ke pingir
kuala (Ahad, 28 Mei 2000), selanjutnya rombongan langsung lari ke Kayoe
wilayah Lembomawo untuk menginap semalam. Di tempat ini, Laskar Kristen
menemukan mereka dan langsung menggeledah. Wens Tanagiri menggiring
rombongan dari Kayoe ke pinggir kuala kemudian ke Kayoe lagi, kemudian
digiring lagi ke dalam hutan besar Tambora. Di sini, rombongan sempat
tidur dua hari dua malam. Paginya, Pak Hamidun, Jumirin, Slamet, Pardono
dan Suman bermaksud turun ke Kuala untuk mengambil air, mendadak mereka
disergap oleh Laskar Kristen yang berjumlah sekitar 70 orang. Anggota
rombongan lain sempat lari dan bersembunyi. Namun esoknya, Laskar
Kristen berjumlah 75 orang sekitar jam 11 siang datang lagi, melakukan
penyergapan. Pengungsi perempuan ditelanjangi, sedangkan pengungsi
laki-laki diikat tangannya menjadi satu renteng, ditendang, disiksa, dan
dibawa pergi entah ke mana. Hingga kini tak pernah kembali.
27 Mei 2000
Sabtu
27 Mei 2000 sekitar pukul 07.00 pagi, sekitar 300 orang Pasukan Merah
yang bergerak di sebelah Timur memasuki desa Tokorondo dari Desa Masani.
Begitu masuk desa, mereka dihadang oleh sekitar 400 orang pasukan
putih. Tetapi begitu melihat persenjataan yang dibawa oleh pasukan
merah, komandan pasukan putih memerintahkan anak buahnya untuk mundur.
Pasukan Merah bertindak ugal-ugalan. Mereka memberondongkan peluru
secara membabi buta. TNI baru datang sekitar tanggal 6 Juni 2000. TNI
terlambat datang karena mereka (Pasukan Merah) memutus jalan darat
menuju Poso. Jadi disamping bergerak menghabisi dan membakar rumah-rumah
kaum muslimin, mereka juga menebangi pohon-pohon dan membiarkannya
melintang di jalanan.
Sabtu 27 Mei 2000 malam hari, Saleh (40)
dikejutkan oleh orang-orang yang menyelinap ke dalam areal Ponpes Wali
Songo, sehingga membuat warga Pondok terbangun dan berjaga-jaga sampai
pukul 03.00 WITA.
28 Mei 2000
Minggu 28 Mei 2000 pagi hari,
terjadi bentrokan antara massa Islam dan Kristen di Tokorando, sekitar
70 warga Kristen bersenjata api melawan 400 warga muslim bersenjata
parang dan golok. Warga muslim terpukul mundur.
Minggu 28 Mei
2000, sekitar pukul 09.00 WITA tiba-tiba datang segerombolan orang yang
berpakaian hitam-hitam lengkap dengan senjata parang, golok, dan senjata
khas organik. Beberapa di antaranya masuk ke masjid dan membunuh 3
orang santri yang berada di dalamnya. Asrama putra dan putri berhasil
dikuasai perusuh, seluruh penghuninya disuruh keluar dan disandera
mereka, kemudian diikat tangannya kemudian dibawa ke hutan didaerah
Sintulemba. Jumlah santri putra 38 orang dan perempuan 28 orang beserta
pimpinan dan gurunya. Di hutan santri putri disuruh pulang menuju tempat
pengungsian. Santri, guru, pimpinan Ponpes berjalan masuk hutan dengan
berkelompok (1 kelompok 5 orang) sampai daerah Lembanawa. Di Lembanawa
para perusuh bertemu komandannya dan para santri dibawa ke Ronononcu dan
ditempatkan di Baruga (balai desa).
Di Baruga inilah (saksi
hidup) menuturkan ia dan teman seluruh anggota badannya diiris-iris
dengan parang, golok, pahanya diinjak-injak, dipukul dengan laras
senjata bahkan muka santri-santri tidak berbentuk lagi (karena dihantam
dengan benda-benda tumpul). Luka irisan tsb. lalu disiram pasir dan
kemudian disiram air panas. “Saya (Ih) mengetahui bahkan mengenali wajah
perusuh tersebut yang ternyata anggota TNI.”
Menurut saksi hidup
(Ih), jumlah perusuh kurang lebih 50 orang dan bercadar ala ninja. Lalu
santri tersebut dinaikkan ke dalam truk dan di bawa ke daerah Togolu,
pinggir Koala (sungai) Poso. Disinilah pembataian terjadi, santri yang
turun dari truk langsung disambut dengan tebasan golok/parang sampai
kepalanya lepas dari badannya. Melihat hal ini, Ih langsung terjun ke
sungai. Seketika itu ikatan tangannya terlepas. Empat orang santri yang
berhasil lolos dari pembantaian tersebut, Ilham dengan luka bacokan,
tusukan golok, berenang menyelusuri sungai Poso kurang lebih 5 km dan
berhasil diselamatkan oleh pengungsi (Islam) dan dirawat di pengungsian
(Kompi).
Beberapa hari kemudian ditemukan 60 mayat mengambang di
Sangai Poso, dan 146 mayat lainnya ditemukan penduduk di tiga titik
bentrokan, yakni Kelurahan Sayo, Kelurahan Mo’engko dan Desa Malei di
pinggiran selatan kota Poso. Diperkirakan mayat-mayat yang ditemukan
hanyut di Sungai Poso berasal dari Pesantren Walisongo, sebab lokasi
pasantren tersebut berada di bagian hulu Sungai Poso. Seorang aparat
keamanan setempat mengatakan lima dari puluhan mayat penuh bacokan
sekujur tubuhnya dan terikat menjadi satu yang ditemukan mengapung di
Sungai Poso.
Minggu 28 Mei 2000, Pendeta Donald ditahan petugas
pos jaga desa Palawa kec. Parigi, dari saku pendeta ini ditemukan pula
peta lokasi peyerangan. Juga, selebaran berisi daftar 63 nama oknum dari
pihak Kristen yang terlibat sekaligus jadi penghubung dalam kerusuhan
Poso. Dari ke 63 nama itu, di antaranya terdapat nama Mely, istri kedua
konglomerat Taipan terkenal Eka Cipta Wijaya (bos Sinar Mas group) yang
tercantum pada urutan ke-20 sebagai oknum yang turut melibatkan diri ke
dalam konflik Poso.
Minggu 28 Mei 2000, kerusuhan Poso berupa
kontak fisik antara Kelompok Merah dan Kelompok Putih semakin meluas,
selain terjadi di Kelurahan Sayo (di dalam Kota Poso) juga merambat ke
wilayah Kecamatan Lage dan Poso Pesisir. Bentrok fisik terbesar terjadi
di Kelurahan Sayo dan di Kasiguncu, ibu kota Kecamatan Poso Pesisir,
melibatkan ribuan massa dari kedua kelompok yang bertikai.
Ketegangan
kian meningkat karena ribuan massa Kelompok Merah dari Kecamatan Pamona
Utara, Mori Atas, Lembo, dan Lore Utara terus berdatangan dan membantu
rekan mereka di lokasi-lokasi kerusuhan. Massa kelompok merah memblokade
semua ruas jalan masuk ke Kota Poso. Tokoh masyarakat dan pemuka agama
di Palu mendesak Kapolri Letjen Rusdihardjo segera memberlakukan Siaga I
di Kota Poso dan sekitarnya.
29 Mei 2000
Senin 29 Mei 2000,
perang antar pasukan putih dan merah di Kabupaten Poso masih
berlangsung. Setelah menguasai Kota Poso, pasukan merah menuju Desa
Masani dan Takurondo (sekitar 25 km arah utara Kota Poso). Abdul Jihad
(26) ditembak dari jarak lima meter, kepalanya hancur dan langsung tewas
seketika, sebagaimana dilaporkan saksi mata Sudirman (23).
Kelompok
merah menggunakan senjata api yang dipasok dari Manado dengan
Helikopter yang diturunkan di Tentena. Sementara, kelompok putih hanya
menggunakan pelontar, senjata rakitan, parang dan tombak. Aparat
perintis dari Polda Sulteng, lari kocar-kacir ketika pasukan merah
mengarahkan senjatanya pada mereka. Saat itu, aparat yang diperbantukan
untuk mengamankan Poso, terdiri dari 3 SSK Polda Sulteng, 1 SST
masing-masing dari Polres Banggai dan Polres Tolitoli, 2 SST dari Korem
132/Tadulako. Di samping 3 SSK yang sudah ada di Poso.
Senin 29
Mei 2000 (kesaksian Abdurrahman, 32): Saya disandera di Tangkura,
sekitar 18 KM dari Sangginora, Poso Pesisir. Saya ditodong dengan
Tombak. Sebagai tawanan, kami diberi makan seperti makanan anjing,
disedu dengan tempurung. Jam 12, saya bergabung dengan tawanan lain di
SDN 2 Tangkura. Di tempat itu ratusan jumlahnya.
Tengah malam,
satu mobil kijang pasukan Kristen datang. Mereka mengambil dua tawanan,
Muis dan Arifin. Sekitar 15 menit berlalu, terdengar bunyi suara
tembakan: “…door!” Masing-masing pasukan Kristen diberi kesempatan
mengambil sandera yang dia ingini.
Lantas saya mencoba memberikan
saran kepada pasukan Kristen supaya saya saja yang disandera dan yang
lainnya dibebaskan, tapi tidak digubris. Esoknya giliran saya yang
diciduk. Saat itu saya sedang tertidur. Saya disergap dan diikat. Kedua
kaki, kedua tangan, dan mata saya diikat dengan kain hitam. Dipaksa naik
mobil open cup merah sambil dipukul dengan senjata. Saat itu saya
bilang sama mereka, kalau niat bunuh saya, bunuh saja. Nggak usah dibawa
ke mana-mana. Sayapun dibawa. Sampai di pemberhentian jembatan
Sangginora, saya dipindahkan ke mobil dump truck. Betapa kagetnya saya,
di dalam truk itu sudah tergeletak tujuh tubuh manusia. Dalam
perjalanan, tiga mayat dinaikkan pula ke truk itu. Tak lama kemudian
truk berhenti. Ternyata sampai dipinggir jurang. Saya bersama
tubuh-tubuh manusia tadi dicurahkan ke jurang. Mereka pikir, dengan
membuang kami ke jurang seperti itu kami sudah mati. Ternyata, saya
bersama dua lainnya masih bernyawa. Samar-samar saya mendengar suara
salah seorang pasukan Kristen berkata dalam bahasa Poso yang artinya,
“Biar mati sendiri di jurang.” Salah seorang dari kami, mencoba
merangkak ke atas jurang. Sayang, dia terlihat oleh pasukan Kristen yang
kebetulan masih berada di bibir jurang. Akhirnya dia tewas ditembak.
Tinggallah kami berdua. Kami saling membuka ikatan. Kami bersembunyi di
hutan satu minggu lamanya. Suatu hari kami diselamatkan seseorang. Kami
menumpang mobil bermuatan kopra dan coklat menuju Tolai, hingga selamat
sampai di Parigi.
30 Mei 2000
Selasa pagi 30 Mei 2000,
Kadispen Polda Sulawesi Tengah Kapten Pol Rudi Suprapto di Palu
mengatakan kerusuhan terjadi di Kelurahan Moengko, Gebang Rejo,
Lawengko, dan Sayo. Sejak pagi, perusuh mencoba menekan dengan masuk ke
kota, tetapi sampai pukul 11.00 WIT petugas kemanan berhasil mendorong
mereka ke luar kota. Para perusuh menggunakan senjata tajam dan senjata
rakitan. Sedikitnya dua orang meninggal, sepuluh orang luka berat, dan
seorang luka ringan. Kadispen Polda menyatakan tiga orang yang diduga
otak pelaku kerusuhan sudah ditahan. Perusuh itu transmigran asal Flores
yang lahir di Palu.
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Sat Nov 08, 2008 9:44 am, total 1 kali diubah |
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:44 am | |
|
31 Mei 2000
Rabu
31 Mei 2000, sebuah mobil Ambulance dicegat massa Muslim di Desa Palawa
Parigi yang disinyalir membawa senjata untuk massa Kristen di Kota
Poso.
02 Juni 2000
Jum’at pagi 02 Juni 2000 sekitar pukul
06.30 WIT di Kelurahan Kayamanya tiba-tiba warga pengungsi muslim yang
berjumlah 50 orang dan sedang mengungsi di Masjid Nurusy Sya’adah
Kayamanya, diserbu oleh sekitar 700 anggota Pasukan Merah yang datang
dengan menumpang beberapa truk dan mobil bak di bawah pimpinan Panglima
Advent L. Lateka serta Panglima Wanita Paulin Dai.
Pasukan Merah
yang datang dengan kesombongan sambil membawa bendera merah-putih dan
berkoar-koar menyebut-nyebut nama Yesus si Juru Selamat, ternyata pulang
dengan tunggang langgang setelah Panglimawati Paulin Dai terkena
dum-dum di dada kirinya. Nyali Pasukan Merah pun kontan ciut. Mereka
lari. Sayangnya Lateka yang sudah tua tidak cepat mengikuti langkag kaki
pasukan merah yang masih muda. Lateka tertinggal, dan akhirnya tewas,
padahal sebelumnya ia begitu perkasa dan kebal senjata.
Menurut
Agus Dwikarna Ketua Kompak (Komite Penanggulangan Masalah Krisis) di
Poso Sulteng, jumlah korban terbesar terjadi di Desa Sintu Temba,
Kabupaten Poso, sekitar 150 KK tewas dibunuh atau sekitar 350 jiwa.
Salah seorang saksi hidup yang selamat adalah Udin (18). Diceritakan
Udin, penyerang datang dalam jumlah besar pada malam hari dan langsung
membantai penduduk yang masih hidup. Sebagian penduduk, lanjut Udin
disandera dan dinaikan truk. Udin sendiri lolos setelah melompat dari
truk yang melaju. Selain di desa Sintu Temba, pembantaian juga terjadi
di Tegalrejo terhadap sekitar 64 KK.
03 Juni 2000
Sabtu 03
Juni 2000, ribuan pengungsi Muslim ditampung di tempat darurat, antara
lain Mess Pemda Tk. II Poso, di Kota Parigi, di Kota Ampana dan di
perguruan Al-Khairat Palu serta pondok pesantren dan Masjid yang ada di
Kota Palu dan Parigi. Massa Kristen telah menguasai kota Poso dan Poso
Pesisir dan terus melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah yang
ditinggalkan oleh penduduk.
04 Juni 2000
Minggu 04 Juni 2000,
Hendra sultan Haji Panyae dibunuh (dipotong) di Kelurahan Moengko Baru
di Hotel Kartika. Korban tidur berempat dengan temannya.
05 Juni 2000
Senin
05 Juni 2000, diperkirakan sudah 5000 orang pengungsi meninggalkan Poso
menuju Parigi yang berjarak sekitar 250 km dari Poso. Jalur
transportasi Poso terputus, satu-satunya jalur yang bisa dilewati
transportasi adalah laut. Namun aparat tidak berani menjamin keselamatan
tim kemanusiaan termasuk tim medis dan wartawan. Ketika sampai di
Parigi, kondisi pengungsi sangat memprihatinkan. Anak balita mereka
terserang wabah diare karena sanitasi yang tidak mendukung. Setiap hari
rata-rata ada 5 balita yang harus menjalani pengobatan.
Senin 05
Juni 2000, aparat terlibat baku tembak dengan massa perusuh yang mencoba
masuk kota lewat Jembatan II. Mereka ditaksir tak kurang dari 60 orang.
Karena gagal setelah dipukul mundur aparat mereka kemudian mengalihkan
serangan ke Desa Lembomawo. Desa Lembomawo setelah masuk dalam kepungan
kelompok merah, dikabarkan banyak penduduknya yang hilang. Juga
dilaporkan bahwa Tsanawiyah Alkhairaat Sintuwu Lembo di KM 9 Poso
dibakar dan Ustadz Siradjuddin, pimpinan Tsanawiyah itu dibantai oleh
massa perusuh tadi.
06 Juni 2000
Selasa 06 Juni 2000 beredar
“Buku Putih” Crisis Centre Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi
Tengah) yang ditandatangani oleh Pdt. Rinaldy Damanik, M.Si dan Pdt M
Papasi, MTH. Dokumen setebal 24 halaman ini disebarkan kepada berbagai
kalangan seperti Presiden dan Wapres RI, pejabat tinggi/tertinggi
negara, Komnas HAM, Panglima TNI, Kapolri, serta sejumlah kedutaan
negara asing di Jakarta. Isinya sebagian besar menyudutkan umat Islam.
Bentrokan
kembali terjadi di Pinggiran Poso (Desa Maleilegi dan Desa Dojo) yang
mengakibatkan Desa Maleilegi hangus terbakar, 66 orang tewas, 92 orang
luka-luka (warga memperkirakan ada 150 kepala keluarga).
Selasa sore 6 Juni 2000, satu anggota TNI Kopda Pornis PD tewas ditembak Pasukan Merah.
07 Juni 2000
Rabu
pagi 7 Juni 2000, di Desa Malei terjadi lagi pertempuran antara Pasukan
Merah dengan aparat. Satu anggota Brimob Polda Sulteng Pratu Ratu Arfan
tertembak dengan luka cukup parah. Komandan Korem 132/Tadulako Kolonel
Hamdan Z. Maulani, mengatakan Kelompok Merah kian aktif menyerang
aparat. Kelompok Merah berani melakukan penyerangan kepada aparat dan
tampak arogan. Pernyatan ini disampaikan Hamdan di hadapan sejumlah
tokoh agama dan masyarakat Sulteng, pada pertemuan dengan Gubernur
Sulteng HB Paliudju di Wisma Haji Palu. Tokoh Islam diwakili oleh
Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat M. Lationo dan Prof. Tjatjo Taha.
Sedangkan tokoh Kristen diwakili oleh Drs. Datlin Tamalagi dan Drs. FE.
Bungkudapu.
11 Juni 2000
Minggu 11 Juni 2000 Karl Heins Reiche
(35) warga negara Jerman yang diduga memprovokasi massa di sejumlah
daerah sebelum kerusuhan Poso meletus, ditangkap petugas di salah satu
hotel di Tana Toraja. Karl yang saat digerebek kepergok memiliki
sejumlah peralatan elektronik canggih itu, tidak bisa memperlihatkan
dokumen resmi (visa, paspor dan surat imigrasi lainnya), ia malah
mengelabui petugas dengan berpura-pura mau mengambil dokumen imigrasi
padahal melarikan diri.
Petugas melakukan pengejaran ke Makale
Kabupaten Tator, Karl berhasil dibekuk di perbatasan Luwu dengan Tator
(12/6). Menurut Kapolwil Pare Pare Kolonel Pol Mardjito, saat diperiksa
Karl mengaku sempat mondar-modir di Palopo dan Tator beberapa waktu lalu
untuk memprovokasi massa. Karl juga mengaku menjadi provokator di Poso
dan Tentena, basis utama kelompok Merah, sebelum kerusuhan Poso meletus.
Selain Karl, aparat juga berhasil mengamankan satu dari 2 penduduk
lokal yang selama ini bersama Karl memprovokasi massa. Keduanya kini
meringkuk di tahanan Polwil Parepare untuk menjalani pemeriksaan
intensif. Namun, sehari kemudian keberadaan Karl sulit diketahui, Polwil
Parepare terkesan menutup-nutupi keberadaan Karl.
15 Juni 2000
Kamis
15 Juni 2000, sehubungan dengan beredar “Buku Putih” Crisis Centre
Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah), sejumlah 36 Ormas
dan OKP Islam mengeluarkan pernyataan bersama untuk meluruskan
pernyataan-pernyataan yang termuat di dalam “Buku Putih” tersebut,
karena dianggap memutarbalikkan fakta sebenarnya. Pernyatan bersama ini
baru dipublikasikan media massa beberapa hari kemudian, yaitu 20 Juni
2000.
Kamis 15 Juni 2000 personil TNI yang tergabung dalam
Operasi Cinta Damai di bawah BKO Polda Sulteng di sebuah gereja di
Kelurahan Kasiguncu, menemukan 2 pistol rakitan dan 145 peluncur granat,
beserta kelewang dan sejumlah tombak.
06 Juli 2000
Kamis 06
Juli 2000, Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro kepada
wartawan di Makodam Wirabuana mengungkapkan, dari 29 aparat TNI Kodim
Poso yang diperiksa dalam kasus kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah, 7 di
antaranya terlibat langsung saat terjadi kerusuhan, antara lain berupa
memberikan bahan pangan dan peluru ke kelompok perusuh yang
mengakibatkan korban tewas semakin banyak. Menurut Komandan Pomdam
Wirabuana Kol. Sudirman Panigoro, ketujuh anggota TNI tersebut terdiri
dari 5 bintara dan 2 perwira. Pada kesempatan itu Mayjen TNI Slamet
Kirbiantoro juga mengatakan, sampai 6 Juli 2000 data yang diterima sudah
211 korban tewas yang telah ditemukan melalui beberapa kuburan massal.
Banyaknya korban yang tewas itu, menandakan benar-benar telah terjadi
pembatantan. “Bayangkan, sepanjang 45 KM di Poso semua rumah dan gedung
hancur terbakar,” ungkap Pangdam.
13 Juli 2000 (Poso)
Kamis
13 Juli 2000, terjadi pembakaran dan penjarahan secara sporadis di
Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Lage, dan Poso Pesisir, serta sejumlah
kecamatan di wilayah Kabupaten Morowali seperti Bungku, terutama pada
sejumlah rumah atau bangunan yang ditinggal pemiliknya. Penjarahan juga
terjadi di sejumlah kebun yang ditinggalkan pemiliknya, seperti kebun
cokelat dan kelapa yang tidak dijaga.
25 Juli 2000
Selasa 25
Juli 2000 sekitar pukul 06.00 Wita, panglima perang kerusuhan Poso
Fabianus Tibo ditangkap dalam sebuah operasi intelijen Satgas Cinta
Damai yang dipimpin Komandan Batalyon II Kapten (Inf) Agus Firman
Yusmono. Tibo diringkus di tempat persembunyiannya di rumah salah
seorang warga di Desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo (Beteleme), Kabupaten
Morowali (Sulteng). Tibo dibawa ke Palu dengan dikawal langsung Komandan
Satgas Cinta Damai Kolonel (Inf) Moch Slamet untuk diserahkan ke Polda
Sulteng.
31 Juli 2000
Senin 31 Juli 2000, Dominggus Soares
warga asal Timor Timur yang merupakan salah seorang dari 10 pimpinan
pasukan Kelelawar Hitam (pasukan khusus kelompok merah) ditangkap
pasukan Brimob yang dipimpin Kapolres Poso Superintendent Djasman Baso
Opu dalam operasi khusus di Desa Beteleme, Kabupaten Morowali (400 km
tenggara Palu). Sebelumnya aparat sudah menangkap Guntur (35), Fabianus
Tibo (56), Very (34). Pimpinan utama pasukan kelelawar hitam adalah Ir.
AL Lateka yang mati terbunuh pada peristiwa 02 Juni 2000.
24 Desember 2000
Minggu
24 Desember 2000, sejak pukul 02.00 dinihari terjadi kontak senjata
antara sekelompok penyerang (berjumlah sekitar 20 orang) dengan aparat
keamanan, di desa Seppe Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulteng. Kontak
senjata yang berlangsung sampai pukul 08.00 itu, menewaskan Juli Tarumba
(47) dan Hasan Basira (50) dan 2 orang lainnya mengalami luka berat.
05 Januari 2001
Jum’at
5 Januari 2001 terjadi serentetan penembakan oleh orang tak dikenal,
terhadap kerumunan warga Muslim di Pandiri, kampung di sebelah timur
Danau Poso...
Galery Poso III (warning adult material)
|
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:49 am | |
|
03 April 2001 (Kasus Poso IV)
Selasa
3 April 2001 pukul 04.00 Subuh Pasukan Merah menyerang dengan kekuatan
ratusan orang, masuk melalui kelurahan Sayo, 1 warga Muslim (Rina, 30)
tewas dan 1 aparat Brimob Brigadir Dua Polisi Muslimin tewas. Pukul
tujuh pagi mereka dipukul mundur oleh aparat dan para Mujahid.
05 April 2001
Kamis
05 April 2001, Tibo (56), Dominggus (45) dan Marinus Riwu (35) menerima
vonis mati yang dijatuhkan hakim Soedarmo SH, Ferdinandus dan Ahmad
Fauzi. Tibo dkk dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55
dan 64 KUHP. Pada persidangan Tibo menyampaikan surat yang ditulis
tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah 16 nama yang
selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan
Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat
sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi
Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso
Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan,
Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan sebagai aktor yang berperan
dalam kerusuhan Poso.
14 April 2001
Sabtu 14 April 2001,
terjadi pembakaran sejumlah rumah ibadah di desa Ronoruncu, tempat
ibadah yang dibakar tersebut sudah tidak lagi dihuni.
16 Mei 2001
Rabu
16 Mei 2001, kantor Camat Poso Pesisir dibakar kelompok tak dikenal dan
menghanguskan seluruh bangunan serta isi kantor itu.
21 Mei 2001
Senin
21 Mei 2001, terjadi aksi penyerangan sekelompok massa Desa Kasiguncu
Kecamatan Poso Pesisir yang mengakibatkan dua orang warga setempat tewas
terkena senjata tajam dan lima orang lainnya menghilang.
10 Juni 2001
Minggu
10 Juni 2001, mobil box yang memuat alat-alat elektronik dan sejumlah
uang hasil tagihan milik Toko Jaya Teknik Makassar yang diperkirakan
ratusan juta rupiah dibakar massa tak dikenal. Akibatnya, Hendra
(kernek) dan Ahmad (sales) tewas terpanggang.
20 Juni 2001
Rabu
20 Juni 2001, H. Anto (39) dan Sudirman (35), dua warga Desa Tokorondo,
Poso Pesisir, ditembak kelompok berpakaian ninja di Desa Pinedapa, Poso
Pesisir.
27 Juni 2001
Rabu 27 Juni 2001, sedikitnya tiga
orang tewas dan puluhan luka berat serta ringan, akibat kontak senjata
yang terjadi di sekitar Desa Masani, Desa Tokorondo, Desa Sa’atu dan
Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir.
2 Juli 2001
Senin 2
Juli 2001, terjadi bentrokan massa di Malei Lage, Kecamatan Lage, Poso.
Akibatnya, 85 rumah dibakar dan satu warga tewas, serta satu rumah
ibadah (gereja) terbakar.
03 Juli 2001
Selasa Subuh 03
Juli 2001, pasukan merah membantai sekitar 14 korban terdiri dari kaum
wanita dan anak-anak dengan sadis di Dusun Buyungkatedo.
18 Juli 2001
Rabu
18 Juli 2001, sedikitnya dua orang tewas dan delapan luka-luka akibat
kontak senjata antara kelompok putih dan kelompok merah di sekitar Desa
Pendolo dan Uwelene, Kecamatan Pamona Selatan, daerah perbatasan
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
24 Juli 2001
Selasa 24
Juli 2001, ratusan warga muslim Poso berunjuk rasa di Markas Polda
Sulteng. Unjuk rasa berakhir kacau, setelah bom meledak di samping
ruangan Kaditserse Polda.
3 September 2001
Senin 3 September
2002, Rektor Universitas Sintuwu Maroso Poso, Drs Kogego ditembak oleh
penembak misterius di Jembatan Poso. Korban mengalami pendarahan serius.
17 September 2001
Senin
17 September 2001, dua warga Desa Betania, Kecamatan Poso Pesisir,
Kabupaten Poso, tertembak oleh kawanan penembak misterius: Matius
Bejalemba (35), warga Desa Betania mengalami luka tembak di bagian
kepala, pinggang sebelah kiri dan lengan sebelah kiri serta Kainuddin
Lubangkila (45) yang hanya mengalami luka di bagian perut.
14 Oktober 2001
Minggu
14 Oktober 2001, bus angkutan milik PO Antariksa jurusan Palu-Tentena
diberondong tembakan oleh sekelompok orang di ruas jalan di Kecamatan
Sausu, Kabupaten Donggala, 150 kilometer arah timur Palu. Akibatnya,
seorang perempuan berusia 24 tahun tewas dan sedikitnya enam orang
lainnya mengalami luka tembak.
18 Oktober 2001
Kamis 18
Oktober 2001, bus angkutan umum milik Perusahaan Otobus (PO) Primadona,
dibakar sekolompok massa tak dikenal di sekitar Kelurahan Kayamanya,
Kota Poso. Rompa (34), warga Bungku Barat tewas akibat dianiaya dan
tertusuk senjata tajam di bagian perutnya.
23 Oktober 2001
Selasa
23 Oktober 2001, ratusan warga muslim dari Desa Mapane, Kec. Poso
Pesisir, membakar puluhan pos polisi. Aksi pembakaran itu
dilatar-belakangi adanya penangkapan terhadap 42 warga Poso untuk
menjalani pemeriksaan di Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.
31 Oktober 2001
Rabu
31 Oktober 2001, puluhan rumah dan satu gereja di bakar kelompok tak
dikenal di Desa Pinedapa dan Kasiguncu, sekitar 20 kilometer arah Barat
Kota Poso.
01 November 2001
Kamis 01 November 2001, warga Desa
Malitu, Poso Pesisir, tiba-tiba diserang kelompok tak dikenal.
Akibatnya, 129 rumah warga habis dibakar dan Nasa (45) terkena tembakan
di bagian paha kiri. Selain ratusan rumah terbakar, fasilitas umum juga
ikut dibakar, seperti kantor kepala desa, kantor koperasi, gedung taman
kanak-kanak, rumah ibadah (gereja), kantor PKK, rumah dinas guru dan
kepala sekolah.
08 November 2001
Kamis 08 November 2001, warga
Sayo membakar truk bermuatan ikan cekalang basah. Belakangan diketahui
mobil itu memang tujuan Tentena, dikawal seorang anggota Brimob. Di
dalam mobil truk ditemukan bensin satu jirigen dan beberapa botol aqua
berisi bensin.
09 November 2001
Jum’at 09 November 2001, kontak senjata terjadi di sekitar Jembatan Dua, perbatasan
Kelurahan
Lembomawo dan Sayo, Kecamatan Poso Kota. Akibatnya, seorang warga tewas
dan dua lainnya luka-luka. Bersamaan dengan itu, di Kelurahan Sayo juga
terjadi pembakaran enam rumah dan barak.
10 November 2001
Sabtu
10 November 2001, terjadi baku tembak antara massa bertikai di dalam
kota dan massa dari luar kota Poso. Bentrokan itu menewaskan Yazet (40),
dari pihak penyerang dan beberapa orang lainnya terluka.
26 November 2001
Senin
26 November 2001, sekitar pukul 01.00 wita Gereja Bethany Poso, di
Jalan Pulau Kalimantan, Sulawesi Tengah, hancur akibat ledakan bom.
Sebelum dibom, gereja terlebih dahulu dibakar dengan menggunakan bahan
bakar bensin. Tidak ada korban jiwa, karena seluruh warga gereja
sebelumnya sudah mengungsi ke Tentena, sekitar 100 kilometer dari Poso.
27 November 2001
Selasa
27 November 2001, terjadi kontak senjata antara dua kelompok bertikai
di Desa Betalemba, Kecamatan Poso pesisir, Kabupaten Poso. Walau tidak
ada korban jiwa, kontak senjata itu menjadikan Poso kembali tegang.
03 Desember 2001
Senin
03 Desember 2001, ratusan warga Kota Poso mendatangi Markas Kodim 1307,
untuk meminta kejelasan keterlibatan anggota TNI dalam penculikan warga
Toyado sehari sebelumnya. Menurut warga, anggota TNI menculik delapan
warga yang sedang sahur di barak Toyado dan selanjutnya diserahkan ke
kelompok merah. Sempat terjadi keributan dengan pihak kepolisian yang
menjaga unjuk rasa itu, hingga kemudian terjadi penembakan yang
menewaskan Sarifuddin (30), warga Kayamanya dan empat orang lainnya
luka.
19 Desember 2001
Rabu 19 Desember 2001, delapan warga
Buyung Katedo, Desa Sepe, Kecamatan Lage Poso, diserang orang tak
dikenal. Untungnya, kedelapan petani yang sedang memetik buah coklat di
kebunnya, itu berhasil menyelamatkan diri.
20 Desember 2001
Kamis
20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani. Kelompok Islam dan
Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi Tengah, sepakat untuk berdamai
dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu diperoleh setelah seluruh
pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok menandatangani
perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Kesepakatan itu
kemudian dituangkan dalam Dekralasi Malino. Deklarasi dibacakan Menko
Kesra Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua
pihak menandatangi kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
1.
Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.
Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.
Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4.
Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.
Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua
pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama
lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.
Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap
warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai
dan menghormati adat istiadat setempat.
7.
Semua
hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah
sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8.
Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
9.
Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip
saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik
dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.
04 April 2002
Kamis
04 April 2002, dua bom rakitan meledak di daerah Desa Ratulene,
Kecamatan Poso Pesisir, tepatnya di Kantor Perusahaan Daerah Air Minum.
28 Mei 2002
Minggu
28 Mei 2002, bom rakitan meledak di tiga lokasi berbeda: di pantai
penghibur di Jalan Ahmad Yani, dekat Hotel Wisata, di pasar sentral Poso
yang mengakibatkan empat los terbakar dan di pertigaan bekas terminal
Poso bom.
05 Juni 2002
Rabu 05 Juni 2002, bom yang diletakan
di dalam bus PO Antariksa jurusan Palu-Tentena meledak di sekitar Desa
Toini, Kecamatan Poso Pesisir (sekitar 10 kilometer arah Barat jantung
Kota Poso). Akibatnya, empat penumpang tewas dan 16 penumpang lainya
mengalami luka. Korban tewas adalah Dedy Makawimbang (30) dan Edy Ulin
(25) yang tewas di tempat kejadian, sementara Gande Alimbuto (76) dan
anaknya, Lastri Oktaffin Alimbuto (19) tewas di RSU Poso.
01 Juli 2002
Senin
01 Juli 2002, bom berkekuatan low explosive meledak di Desa Tagolu,
Kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Tidak ada korban akibat ledakan bom itu.
12 Juli 2002
Jum’at
12 Juli 2002, bom berdaya ledak cukup kuat menghantam bus Omega jurusan
Palu-Tentena, di Desa Ronoruncu, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso dan
menewaskan seorang remaja putri, Elfa Suwita Dolia (17), warga Desa
Tokilo, Kecamatan Pamona Selatan.
19 Juli 2002
Jum’at 19 Juli
2002, Nyoman Mandiri (26) dan Made Jabir (26), dua warga Kilo Trans,
Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, tewas ditembak penembak
misterius saat melintas di jalan raya di Desa Masani.
04 Agustus 2002
Minggu
04 Agustus 2002, kelompok tak dikenal menyerang Desa Matako, Kecamatan
Tojo, Kabupaten Poso. Serangan mendadak itu menghanguskan 13 rumah
penduduk, membakar dua rumah ibadah (gereja) dan melukai enam warga
setempat.
08 Agustus 2002
Kamis 08 Agustus 2002, warga negara
Italia, Lorenzo Taddei (34), tewas ditembak orang tak dikenal dalam
perjalanan dari Tanah Toraja, Sulawesi Selatan menuju Sulawesi Tengah,
di sekitar Desa Mayoa, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso.
Penembakan itu juga melukai Heronimus Banculu, 36 tahun yang tertembak
di bagian paha kiri, Timotoius Kemba, 52 tahun yang tertembak di bagian
lengan kanan, Karingan, 21 tahun, yang tertembak di bagian paha kanan
dan Berting, 45 tahun, yang tertembak di bagian kepala bagian kiri.
12 Agustus 2002
Senin
12 Agustus 2002, gerombolan bersenjata menyerang Desa Sepe Silanca dan
Batu Gencu di Kecamatan Lage. Akibatnya, Sulaweno, Kania, Omritakada,
Salangi dan satu orang lainnya yang belum teridentifikasi tewas dengan
sekujur tubuh terbakar. Damai Pangkunah dan Simon Tangea mengalami luka
berat tertembak di bagian dada dan paha. Selain itu, ratusan rumah
hangus terbakar dan rata dengan tanah.
16 Agustus 2002
Jum’at
16 Agustus 2002, kerusuhan Poso merambah ke Kabupaten Morowali. Terjadi
aksi penyerangan oleh kelompok tak dikenal di Desa Mayumba, Kecamatan
Mori atas Kabupaten Morowali -138 kilometer dari Poso. Aksi itu
menyebabkan 43 rumah warga terbakar dan delapan kios jualan warga ikut
musnah. Selain itu, L Petra (67) mengalami luka tembak di bagian paha
dan seorang balita, Erik meninggal di pelukan ibunya.
26 Agustus 2002
Senin
26 Agustus 2002, terjadi hampir bersamaan, dua bom meledak di dua
tempat dan mengakibatkan seorang polisi, Bripda Pitriadi (21) dan satu
warga sipil, nyonya Zainun (22) mengalami luka serius. Bom pertama
meledak di Jalan Morotai, Kelurahan Gebang Rejo dan bom kedua meledak di
Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Kasintuwu.
04 Desember 2002
Rabu
04 Desember 2002, Agustinus Baco (57) warga Desa Kawende, Kecamatan
Poso Pesisir, meninggal di tempat akibat diterjal peluru.
05 Desember 2002
Kamis
05 Desember 2002, Toni Sango (23) pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten
Poso, dan Oeter (23) tewas akibat ditembak orang tak dikenal.
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Sat Nov 08, 2008 9:55 am, total 2 kali diubah |
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:49 am | |
|
26 Desember 2002
Kamis
26 Desember 2002, Kepala Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir,
Kabupaten Poso, M Jabir (52), ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan
di Jalan Trans Sulawesi menghubungkan Gorontalo-Sulteng-Sulsel akibat
tembakan.
02 Juni 2003
Senin 02 Juni 2003, Yefta Barumuju (37)
penduduk dusun Kapompa, Kelurahan Madale, Kecamatan Poso Kota tewas di
tempat setelah ditembak orang tak dikenal. Ia diterjal peluru dibagian
dada dan paha kanan. Kawan korban, Darma Kusuma (35) selamat walau rusuk
dan lutut kanannya juga terkena timah panas.
07 Agustus 2003
Kamis
07 Agustus 2003, bom rakitan meledak di rumah Aisyah Ali, warga Jalan
Pulau Sabang Kelurahan Raya Manya, Kota Poso. Akibatnya, menewaskan
Bahtiar alias Manto (20) yang bekerja sebagai nelayan.
11 September 2003
Kamis
11 September 2003, bom berkekuatan cukup besar meledak di tengah
kerumunan massa persis di depan kantor Lurah Kasiguncu, Kecamatan Poso
Pesisir. Lima warga luka-luka.
10 Oktober 2003
Jumat 10
Oktober 2003, bias rusuh Poso terjadi di Desa Beteleme, ibu kota
Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali (sekitar 300 kilometer dari Kota
Poso). Puluhan orang tak dikenal menyerang desa itu dengan memakai
penutup muka ala cadar. Akibatnya, tiga warga sipil: Derina Mbai (48
tahun), Hengky Malito (36 tahun) dan Oster Tarioko (47 tahun) tewas,
sementara satu warga lainnya dilarikan ke rumah sakit setempat karena
terkena tembakan di bagian kaki. Selain itu, 27 unit rumah terbakar,
tiga mobil terbaka dan tujuh sepeda motor terbakar, serta satu unit
sepeda motor hilang.
11 Oktober 2003
Sabtu 11 Oktober 2003,
sekelompok orang tak dikenal menyerang empat desa: Pantangolemba, Saatu,
Pinedapa di Kecamatan Poso Pesisir dan Madale di Kecamatan Poso Kota.
Akibatnya, satu warga Desa Pinedapa, Ayub (26) tewas seketika, sementara
tujuh korban lainnya belum teridentifikasi. Penyerangan itu juga
melukai 14 warga di empat desa itu.
14 Oktober 2003
Selasa 14
Oktober 2003, situasi Poso kembali tegang menyusul sebuah bom rakitan
meledak Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, sekitar 12
kilometer dari Kota Poso.
17 Oktober 2003
Jum’at 17 Oktober
2003, kelompok penyerang Poso kembali beraksi. Kawasan Tanah Runtuh,
Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota diserang. Akibatnya, satu
buah bangunan bengkel kerajinan souvenir kayu ebony ludes terbakar,
dapur rumah milik Naufal dibakar, dan kaca depan rumah Anshori yang juga
kantor Yayasan Amanah berhamburan di lantai. Tapi, kejadian itu tidak
memakan korban jiwa.
11 November 2003
Selasa, 11 November
2003, bom rakitan jenis low explosive meledak di Kota Tentena, ibukota
Kecamatan Pamona Utara, wilayah basis pengungsi Kriten Poso. Bom itu
meledak di kantor agen Pengangkutan Oto (PO) Bus Omega yang melayani
penumpang jurusan Palu-Tentena.
pemekaran Poso) berkisar 5.000 orang
15 November 2003
Sabtu
15 November 2003, polisi menyerbu sebuah rumah yang diperkirakan tempat
para tersangka pelaku penyerangan tanggal 11 Oktober 2003. Dari
penyerbuan ini menewaskan Hamid.
16 November 2003
Minggu 16
November 2003, ribuan massa mengepung Markas Kepolisian Resor Poso
lantaran tidak menerima kematian Hamid (18), warga Tabalu, Kecamatan
Poso Pesisir yang mati ditembak. Selain itu, polisi juga menangkap dua
warga Tabalu dan Ratolene lainnya, yaitu Zukri yang kemudian dilepas dan
Irwan Bin Rais yang masih ditahan.
17 November 2003
Senin 17
November 2003, tiga orang merusak bus dengan menggunakan linggis dan
senjata api rakitan di Desa Kuku, Kecamatan Tamona Utara, Poso.
19 November 2003
Rabu
19 November 2003, belasan orang bersenjata menyerang pos penjagaan
aparat di Dusun Taripa, Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir.
26 November 2003
Rabu 26 November 2003, bom rakitan yang berkekuatan rendah meledak di Jalan Pulau Irian, Tanah Runtuh, Poso.
29 November 2003
Sabtu,
29 Npvember 2003, empat nyawa melayang dalam dua kejadian serangan
kelompok tidak dikenal berbeda, di Poso. I Made Simson dan I Ketut
Sarmon tertembak di Desa Kilo Trans Poso Pesisir, sementara Ruslan
Terampi dan Ritin Bodel tewas di Desa Rompi, Ulu Bongka Pesisir Utara.
23 Desember 2003
Selasa 23 Desember 2003, bom berdaya ledak rendah meledak di depan kantor Lurah Lembomawo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso.
26 Desember 2003
Jum’at
26 Desember 2003, terjadi ledakan yang diperkirakan berada di
perbatasan Kelurahan Gebang Rejo dan Lembomawo, Kecamatan Poso Kota.
04 Januari 2004
Minggu 04 Jnauari 2004, Kepolisian Resor Poso menemukan tiga bom aktif di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir.
18 Januari 2004
Minggu 18 Januari 2004, satu bom aktif ditemukan di perbatasan Kelurahan Moengko Lama dan Kayamanya, pinggiran kota Poso.
24 Januari 2004
Sabtu
24 Januari 2004, aparat Kepolisian Resor Poso, Bharada Azis mengalami
luka tembak di bagian betis kaki kirinya setelah diberondong tiga orang
bercadar di Desa Masani, Kecamatan Poso pesisir.
27 Maret 2004
Selasa 27 Maret 2004, Christian Tanalida (37) tewas terkena aksi penembakan misterius di Kelurahan Kawua, Kota Poso.
30 Maret 2004
Selasa
30 Maret 2004, terjadi aksi penembakan misterius yang menewaskan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar) Poso, Rosio Pilongo
SH.MH, di Kampus Universitas Sintuwu Maroso Poso.
13 April 2004
Selasa
13 April 2004, sehari menjelang hari Idul Fitri, terjadi ledakan bom
yang mengguncang kawasan Pasar Sentral Poso, menewaskan enam warga,
meledak di dalam angkutan kota jurusan Poso-Tentena sekitar pukul 09.20
Wita.
17 April 2004
Sabtu 17 April 2004, polisi menemukan 21
bom rakitan di Poso, tersebar di tiga kecamatan, dua diantaranya di
kecamatan Poso kota dan Poso pesisir. Bom ditemukan di ditimbun
perkebunan coklat yang sekitar rumah penduduk
18 Juli 2004
Minggu
18 Juli 2004, Pendeta Susianti Tinulele ditembak pria tidak dikenal
ketika sedang memimpin ibadah di Gereja Efatha di Jalan Banteng, Palu
Selatan. Pada kejadian itu, empat jemaat terkena luka akibat berondongan
peluru, yakni Farid Melindo (15), Christianto (18), Listiani (15) dan
Desri (17). Mereka terluka peluru di bagian lutut, pinggul, dan paha.
13 November 2004
Sabtu 13 November 2004, terjadi ledakan bom yang menewaskan enam orang dan mencederai tiga lainnya.
03 Januari 2005
Senin 03 Jnauari 2005, terjadi ledakan bom di dekat Asrama Brimob dan hanya menimbulkan kerusakan bangunan.
28 April 2005
Kamis
28 April 2005, terjadi ledakan dua bom di Kantor Pusat Rekonsiliasi
Konflik dan Perdamaian Poso sekitar pukul 20.00 Wita. Bom kedua meledak
di Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil pukul 22.00 Wita. Tidak ada
korban jiwa.
28 Mei 2005
Sabtu pagi 28 Mei 2005, terjadi
ledakan bom pada pukul 08.15 Wita di Pasar Tentena dan pukul 08.30 Wita
di samping Kantor BRI Unit Tentena, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah, menewaskan sedikitnya 22 orang dan melukai 70
orang lainnya. Bom rakitan berdaya ledak tinggi itu berisikan potongan
paku, menggunakan timer sebagai pemicu, dan batu baterai 1,5 volt yang
berfungsi sebagai arus listrik.
29 Oktober 2005
Sabtu 29 Oktober 2005, tiga siswi SMUK GKST Poso ditemukan tewas dengan tubuh dan kepala pisah.
8 November 2005
Dua siswi SMK ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya.
30 Desember 2005
Bom meledak di Pasar Maesa, Palu Selatan. Korban tewas 7 orang dan 50 orang luka-luka.
08 Mei 2006
Senin
08 Mei 2006, selepas shubuh empat orang anggota Densus 88 diserang
warga Poso, dua sepeda motor mereka dibakar. Keempat orang itu berhasil
meloloskan diri dari amuk warga. Saat itu, anggota Densus 88 hendak
menangkap seorang warga Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Kota, Poso,
bernama Taufik Bulaga (24 tahun). Penyerangan itu sebagai bentuk
ketidaksukaan warga terhadap Densus 88 yang suka seenaknya menangkap
orang.
03 Agustus 2006
Kamis 03 Agustus 2006, sekitar pukul
20.45 Wita terjadi ledakan cukup keras di sekitar Kompleks Gedung Olah
Raga Poso, Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan Kasintuwu, Poso.
31 Agustus 2006
Kamis
31 Agustus 2006, Brigadir Jenderal Polisi Oegroseno menyerahkan jabatan
Kepala Polda Sulawesi Tengah kepada Komisaris Besar Badrudin Haiti di
Mabes Polri. Kepala Polri Jenderal Sutanto selanjutnya menempatkan
Oegroseno sebagai Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi
Telematika Mabes Polri.
22 September 2006
Jum’at 22 September 2006, Tibo dkk dieksekusi mati.
( Klik streaming from Liputan 6 )
29 September2006
Jumat
siang 29 September 2006, terjadi empat ledakan bom yang disusul
pecahnya kerusuhan massa di Taripa, Kecamatan Pamona Timur. Sekitar 500
orang mengamuk dan merusak fasilitas polisi, membakar pos polisi,
membakar truk dan mobil patroli aparat keamanan, membakar beberapa
sepeda motor, dan melempari helikopter milik kepolisian. Kemarahan massa
dipicu kekecewaan karena Kepala Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog
dengan mereka perihal eksekusi Tibo Cs.
( Klik streaming from Liputan 6 )
30 September 2006
Sabtu
30 September 2006 sekitar pukul 22:00 WITA, bom meledak di dekat Gereja
Maranatha, Kelurahan Kawua. Satu jam kemudian bom meledak di dekat
Kantor Camat Poso Kota Selatan di Jalan Tabatoki. Juga terjadi
pelemparan granat oleh dua orang tak dikenal terhadap kerumunan orang di
Kelurahan Kawua, Kecamatan Poso Kota.
01 Oktober 2006
Minggu
malam 01 Oktober 2006, kelompok berpenutup kepala ala ninja beraksi,
menghadang mobil sewaan di rute Parigi-Makassar yang berhenti karena
terhalang bangkai sepeda motor. Ninja membacok punggung dan menghantam
kepala Jelin, 20 tahun, dengan benda keras dalam insiden di Kelurahan
Kayamanya, Kecamatan Poso, itu. Penghadangan juga dialami Ebiet, pekerja
perusahaan pemasok tabung gas elpiji. Ebiet sempat diculik selama dua
hari di Pamona Selatan, sekitar 60 kilometer dari Poso.
16 Oktober 2006
Lokasi
tertembaknya pendeta Irianto di Palu.Senin 16 Oktober 2006, Pendeta
Irianto Kongkoli Sekretaris Umum (Sekum) Sinode GKST (Gereja Kristen
Sulawesi Tengah) ditembak mati oleh orang tak dikenal di kawasan Jalan
Monginsidi, Kelurahan Lolo Selatan, sekitar pukul 08;15 Wita. Ketika
itu, korban yang ditemani istri (Iptu Rita Kupa) dan anaknya Gemala Gita
Evaria (4) hendak berbelanja bahan bangunan (tegel) di Toko Sinar
Sakti. Korban langsung di larikan ke rumah sakit (RS) Bala Keselamatan
sekitar 500 meter dari tempat kejadian perkara (TKP), namun jiwanya
tidak berhasil diselamatkan. Sementara Ny Rita dan anaknya Gea berhasil
lolos dari musibah berdarah itu. Pendeta Irianto Kongkoli direncanakan
menggantikan Pendeta Rinaldy Damanik yang mengundurkan sebagai Ketua
Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) setelah terpidana
mati kasus Poso Tibo cs dieksekusi mati. ( Klik streaming from Liputan 6
)
18 Oktober 2006
Rabu 18 Oktober 2006, jenazah Pendeta
Irianto Kongkoli sekitar pukul 10.00 Wita disemayamkan di Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GSKT) Anugerah Masomba yang terletak dibilangan Jln
Tanjung Manimbaya. Acara pelepasan dan pemakaman dipimpin langsung oleh
Pendeta Isak Pole Msi (Ketua I Majelis Sinode GKST).
21 Oktober 2006
Kepala
Polri Jenderal SutantoSabtu 21 Oktober 2006, kerja keras tim penyidik
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah (Polda Sulteng) dibantu Detasemen
Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri berhasil membawa 11 orang untuk
diperiksa sehubungan dengan kasus penembakan Pendeta Irianto Kongkoli.
( Klik streaming from Liputan 6 )
22-23 Oktober 2006
Minggu
22 Oktober 2006 dan Senin 23 Oktober 2006, terjadi bentrokan antara
anggota Brigade Mobil (Brimob) dengan warga Kelurahan Gebangrejo, Kota
Poso. Bentrokan pada malam Idul Fitri itu terjadi karena polisi tidak
sensitif terhadap umat Islam. Akibatnya, seorang warga tewas, tiga
lainnya luka-luka (termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah
mobil polisi dan beberapa sepeda motor terbakar.
27 Oktober 2006
Jum’at 27 Oktober 2006, SBY bertolak ke China melalui bandara Halim Perdana Kusumah.
08 November 2006
Senin
08 November 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai mengadili
Hasanuddin (34), salah seorang terdakwa pembunuh tiga siswi SMA di Poso
yang terjadi 29 Oktober 2005. Tim jaksa yang diketuai Payaman mendakwa
Hasanuddin sebagai perencana pembunuhan Alfita Poliwo, Theresia
Morangki, dan Yarni Sambue.
14 November 2006
Selasa 14
November 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah
diperiksa tiga hari, Andi dilepas. ( Klik streaming from Liputan 6 )
28 November 2006
Selasa
28 November 2006, Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir, dua di antara
29 orang pada daftar pencarian orang Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah,
menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso. ( Klik streaming from
Liputan 6 )
11 Januari 2007
Pada Kamis 11 Januari 2007,
sekitar pukul Pukul 06.00 WITA, Densus 88 dan dua SSK Brimob Sulteng
menggeledah rumah Basri (DPO) di Jl Pulau Jawa II Kelurahan Gebangrejo,
Poso Kota. Karena tak menemukan orang yang dicari, aparat melanjutkan
pencarian ke rumah Yadit (DPO) yang terletak sekitar 50 meter meter dari
rumah Basri. Di rumah Yadit, aparat menemukan Dedi Parshan (DPO) yang
sedang tertidur.
Pukul 6.30 WITA, Dedi yang berusaha melarikan
diri tewas dengan rentetan tembakan di bagian lengan kanan dan kiri dan
terlihat luka tusukan di dada. Sekitar 300 m dari rumah Yadit, tepatnya
di pesantren Al Amanah, Tanah Runtuh, ratusan polisi mengepung dan
menembak mati ustadz Riansyah di bagian kepala. Sementara ustadz Ibnu
yang juga pengajar pesantren Al Amanah, luka tertembak di bagian perut
dan punggung.
Penyergapan melibatkan dua tim CRT (Cepat Reaksi
Tanggap) Polres Poso, diperkuat dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota
Brimob Polda Sulteng. Hasilnya, lima dari 29 warga yang ditetapkan
dalam DPO itu ditangkap. Mereka adalah Dedi Parshan (28), Anang Muhtadin
alias Papa Enal (40), Upik alias Pagar (22), Paiman alias Sarjono (33),
dan Abdul Muis (25). Anang, Upik dan Muis mengalami luka tembak di
beberapa bagian tubuh mereka.
Kematian Ustadz Riansyah membuat
warga marah. Bripda Dedy Hendra anggota Polmas (Polisi Masyarakat) di
Kelurahan Tegal Rejo yang mengendarai sepeda motor seorang diri, melntas
di TPU Lawanga saat prosesi pemakanan terhadap Ustadz Riansyah
berlangsung. Puluhan pelayat yang masih tersulut emosi akibat kematian
Ustadz Riansyah segera melakukan pencegatan. Dedi dihakimi hingga tewas
di tempat. Jenazah Bripda Dedy Hendra setelah disemayamkan di Mapolres
Poso, diterbangkan ke Bandung (Jawa Barat) pada Jumat pagi (12 Jan 2007)
menggunakan pesawat khusus milik Polri.
Sebelumnya, November
2006 lalu, sudah ada tiga dari 29 DPO yang menyerahkan diri. Pada Selasa
14 Nov 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah
diperiksa tiga hari, Andi dilepas. Dua pekan kemudian, Selasa 28 Nov
2006 Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir menyerahkan diri ke Kepolisian
Resor Poso.[/justify]
Terakhir diubah oleh Admin tanggal Sat Nov 08, 2008 9:54 am, total 3 kali diubah |
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:50 am | |
|
Dengan demikian, sejak November 2006 hingga 11 Januari 2007, sudah ada 8 dari 29 DPO yang berhasil diamankan aparat.
14-15 Januari 2007
Minggu
malam (14 Jan 2007) hingga Senin dini hari (15 Jan 2007), terjadi
ketegangan antara anggota polisi dengan sekelompok warga. Maka,
pengamanan diperketat dengan menyebar pasukan dalam jumlah yang lebih
banyak di titik-titik strategis. Belasan anggota polisi bersenjata
lengkap disiagakan di ruas-ruas jalan utama dalam kota Poso, padahal
pada hari biasanya jumlah anggota polisi yang disiagakan kurang dari
lima orang. Selain itu, puluhan kendaraan taktis berisi pasukan
bersenjata juga mengintensif patroli dalam kota Poso. Beberapa kendaraan
taktis diparkir di ruas-ruas jalan yang dinilai rawan seperti di Jalan
Pulau Bali, Pulau Serang, Pulau Irian dan Pulau Sumatera.
15 Januari 2007
Senin
sore (15 Jan 2007), aparat keamanan di kota Poso kembali bersitegang
dengan sekelompok warga di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebang Rejo.
Warga Jalan Pulau Irian mulai terkonsentrasi sejak pukl 15:00 Wita, saat
polisi meningkatkan pengamanan dengan mengerahkan beberapa kendaraan
taktis ke kawasan tersebut. Sekitar pukul 18:15 Wita, mulai terdengar
rentetan letusan senjata api disertai bunyi tiang listrik dipukul-pukul
membuat sebahagian warga berlarian menuju arah Jalan Pulau Irian. Suara
letusan senjata api dan dentuman tiang listrik terdengar hingga pukul
19:00 Wita, bahkan sesekali terdengar suara ledakan keras yang diduga
kuat bersumber dari bom rakitan di sekitar Kelurahan Gebang Rejo dan
Kelurahan Kayamanya. Aliran listrik di Jalan Pulau Sumatera sempat
padam, sementara warga di Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau Jawa dan Jalan
Pulau Madura sengaja memadamkan aliran listrik. Sekelompok warga di
ketiga jalan yang berada dalam wilayah Kelurahan Gebang Rejo ini juga
membuat blokade di ruas jalan dengan menaruh benda-benda keras seperti
batu, kayu dan drum. Hingga pukul 22.00 wita suara tembakan belum
mereda. Tidak ada korban jiwa.
16 Januari 2007
Hingga Selasa
siang (16 Jan 2007), situasi tegang dan mencekam masih terus dirasakan.
Penyerangan atas Polres Poso oleh sekelompok waga berlangsung semalam
suntuk, menggunakan berbagai jenis senjata api, termasuk bom.
Kapolda
Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, mengeluarkan maklumat
tertanggal 16 Januari 2007, berisi perintah antara lain melakukan
tindakan tegas hingga tembak di tempat kepada siapa pun yang memiliki,
menyimpan, atau membawa senpi dan bahan peledak tanpa otoritas yang sah.
Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, AKBP M Kilat, masyarakat yang
memiliki, menguasai atau menyimpan senpi, amunisi, serta bahan peledak
dengan tanpa hak juga diminta untuk segera menyerahkan kepada aparat
berwajib secara sukarela. Dasar dikeluarkannya maklumat tersebut sudah
jelas antara lain UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No 12 Tahun 1952 tentang senjata api dan
bahan peledak, Peraturan Polda Sulteng Tahun 2006 tentang batas akhir
penyerahan senpi, amunisi dan bahan peledak secara sukarela di wilayah
Sulteng.
Maklumat tersebut mendapat kecaman dari Ketua BMMP
(Barisan Muda Muslim Poso) Drs Zulkifli Kay, yang menilai maklumat itu
terlalu berlebihan. Kay juga mengatakan, maklumat tembak di tempat
memberi kesan telah terjadi konflik terbuka dengan eskalasi yang luas,
sehingga membuat situasi keamanan di Poso tidak terkendali.
Kadiv
Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, sehubungan dengan maklumat
tersebut menyatakan, di dalam prosedur Polri tidak dikenal istilah
tembak di tempat. Setiap anggota polisi, telah dibekali pengetahuan
kapan saatnya dapat menggunakan senjata apinya. Tanpa perintah tembak di
tempat, setiap anggota polisi harus tahu kapan tepatnya harus menarik
pelatuk senjata apinya. Dengan keluarnya perintah itu, kalau terjadi
sesuatu yang berakibat hukum dan harus berhadapan dengan divisi propam,
merupakan risiko Kapolda Sulteng.
18 Januari 2007
Kamis pagi
tanggal 18 Januari 2007, sebuah bom hampa berdaya ledak rendah meledak
di Jalan Pulau Sumbawa Kelurahan Gebang Rejo kota Poso, Sulawesi Tengah
(Sulteng). Bom meledak sekitar pukul 09:20 Wita di dalam saluran air,
tepatnya di belakang Kantor PT Bank Sulteng Cabang Poso atau sekitar 100
meter dari Mapolres Poso dan Pasar Sentral Poso yang terletak di Jalan
Pulau Sumatera. Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi mengatakan, bom
jenis low explosive itu terbuat dari (casing) botol air mineral dengan
bahan sulfur dan florat. Pelakunya diduga dari kelompok yang selama ini
menjadi buron polisi dengan ciri-ciri rambut gondrong dan berpostur
tinggi besar. Tidak ada korban jiwa, hanya sempat membuat kaget sebagian
pedagang dan pengunjung di Pasar Sentral Poso. Aktivitas masyarakat
secara umum berlangsung normal.
Kamis malam tanggal 18 Januari
2007, terjadi ledakan bom di dua tempat. Ledakan pertama terjadi di
Jalan Pulau Aru, Kelurahan Gebangrejo sekitar pukul 18:00 Wita, tepatnya
di belakang Gereja Eklesia Poso. Ledakan tersebut sempat membuat warga
di sekitar gereja panik meski tidak ada korban jiwa. Ledakan kedua
terjadi di Jalan Pulau Sumatera sekitar pukul 22:30 Wita yang berlokasi
di depan Pasar Sentral Poso. Lokasi ledakan tersebut hanya berjarak
sekitar 100 meter dari Mapolres Poso. Ledakan kedua membuat aktivitas
jual beli di pasar terganggu. Para penjual dan pembeli memutuskan pulang
lebih awal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua
ledakan tersebut tidak menimbulkan korban jiwa hanya sempat membuat
panik beberapa warga di sekitar lokasi.
20 Januari 2007
Sabtu,
20 Januari 2007 sekitar pukul 13:30 Wita, ditemukan sebuah bom rakitan
ukuran panjang sekitar 15 centimeter dengan diameter berkisar lima
centimeter, di pinggiran jalan bagian depan Gereja Advent di Kelurahan
Kasintuwu, Poso Kota, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Kapolres Poso
AKBP Drs Rudi Sufahriadi, bom aktif yang belum meledak dan berada dalam
kantong plastik berwarna hitam itu berhasil diamankan petugas Jihandak,
dan segera dibawa dengan mobil khusus ke Markas Brimob Polda Sulteng di
Kelurahan Moengko untuk diledakkan.
22 Januari 2007
Senin 22
Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30 Wita,
terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan
Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan
Kusno (35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa
baku tembak antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang
(DPO) Poso di Jalan Irian, Poso Kota. Paijo yang berprofesi sebagai
tukang ojek menderita luka tembak di lengan kiri bagian atas sedangkan
Kusno (penjual bakso) mederita luka tembak di kepala bagian atas,
keduanya sempat mengalami perawatan di RSUD Poso. Menurut Kabid Humas
Polda Sulteng AKBP M Kilat SH MH, anggota kepolisian Ipda Maslikan
menderita luka tembak di bagian paha, dan langsung dilarikan ke Rumah
Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah.
Bentrokan antara aparat
dengan warga yang terjadi 22 Januari 207 sekitar pukul 07.30 WITA hingga
16.00 WITA, berlangsung di beberapa lokasi, yaitu Jalan Pulau Nias,
Jalan Pulau Sabang, Jalan Pulau Mentawai di Kelurahan Kayamanya. Di
Kelurahan Gebang Rejo tersebar di Jalan Pulau Kalimantan, Pulau Irian,
Pulau Seribu, Pulau Seram, dan Pulau Jawa. Serta di perbukitan hutan
jati yang berada di perbatasan Kelurahan Gebangrejo dan Desa Lembomawo.
Dari bentrokan ini jatuh korban tewas antara lain Ustadz Mahmud, Ustadz
Yakub, Ustadz Idrus, dan seorang warga yang akrab disapa Om Gam.
Insiden
bakutembak di Jalan Pulau Kalimantan Kelurahan Gebang Rejo
mengakibatkan empat anggota Brimob terkena peluru senjata api, seorang
di antaranya bernama Bripda Rony Iskandar tewas dengan luka tembak di
bagian kepala. Pangkat Ronny dinaikkan menjadi Briptu anumerta.
Sedangkan sedangkan korban luka selain Ipda Muslihan, juga Bripda I
Wayan Panda (anggota Brimob), Bripda Wahid, Brigadir Dudung Adi (anggota
Brimob), Brigadir Kosmas (anggota CRT Mabes Polri). Rony adalah anggota
Brimob yang di-BKO di Densus 88 Anti Teror Polda Sulteng. Sedangkan
Muslihan adalah anggota Densus 88, dan Bripda Wahid adalah anggota
Brimob Sulteng. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Muhammad Kilat,
Selasa 23 Jan 2007, korban tewas dari kelompok bersenjata berjumlah 13
orang.
Identitas 13 korban tewas itu adalah Tengku Irsan alias
Icang, Ridwan alias Duan, Firmansyah alias Firman (Siswa MTs Negeri
Poso) luka tembak di bagian perut, Nurgam alias Om Gam (luka tembak di
bagian kepala), Idrus Asapa, Toto, Yusuf, Muh Sapri alias Andreas,
Aprianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias
Gunawan, Ustadz Mahmud (luka tembak di kepala).
Dari 13 anggota
kelompok bersenjata yang tewas hanya satu orang yang masuk dalam DPO,
yaitu Icang. Tengku Firsan alias Icang, diduga aparat sebagai perakit
hampir semua bom yang diledakkan di Poso dan Palu. Icang juga diduga
aparat terlibat peledakan bom di Pasar Sentral Poso, peledakan bom di
Pasar Maesa, Palu, dan penembakan lima anggota Brimob di Ambon pada
tahun 2005.
23 Januari 2007
Selasa 23 Januari 2007, menurut
Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto, tiga orang yang masuk dalam DPO
menyerahkan diri. Mereka adalah Iswadi alias Is, Yasin alias Utomo, dan
Faizul alias Takub. Sementara itu, sebanyak dua SSK (Satuan Setingkat
Kompi) anggota Brimob Kelapa Dua Jakarta dikerahkan ke Poso, Sulawesi
Tengah (Sulteng), untuk memperkuat pengamanan di wilayah yang sepekan
terakhir kembali memanas. Pasukan elit Polri ini dipimpin Kompol Gatot
selaku Kepala Detasemen serta AKP Muhammad Tedjo dan Iptu Iwan
masing-masing sebagai Komandan Kompi. Sebelumnya sudah ada sembilan SSK
pasukan Brimob kiriman yang di BKO (Bawah Kendali Operasi)-kan di
Mapolres Poso. Dengan demikian total seluruh pasukan Brimob BKO di
daerah konflik itu sebanyak 11 SSK atau sekitar 1.100 personil.
Sedangkan jumlah personil Polisi dan TNI organik maupun nonorganik di
Poso, termasuk di Kabupaten Tojo Unauna dan Morowali (daerah
|
|
|
|
|
Subyek: Re: Teroris Juga Manusia Sat Nov 08, 2008 9:57 am | |
|
Saksi Poso Berbicara Di Jakarta
laporan Syarifuddin Ambalawi
Hanya
selang 2 hari setelah sweeping Brimob terhadap 16 muslim Poso yang
termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang menyebabkan tewasnya
belasan penduduk sipil muslim Poso 22 Jan 2007 lalu, Ust. Ahmad kemudian
diutus oleh Ust. Adnan Arsal, tokoh agama Islam Poso setempat, untuk ke
Jakarta melaporkan fakta sebenarnya. Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad
didampingi beberapa tokoh Forum Umat Islam, termasuk Ust. Abu Bakar
Ba’asyir dari Majelis Mujahidin Indonesia dan Habib Rizieq dari Front
Pembela Islam, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta.
Rekaman Video Yang Menjijikkan
Rekaman
video kekejaman ‘Kristen Radikal’ pada masa sebelum kesepakatan Malino
dipersaksikan. Tampak belasan mayat anak kecil Muslim sedang
dikumpulkan, diantaranya ada anak balita yang 1/3 tempurung kepala
bagian atasnya lepas terbacok rata (kemudian disambungkan lagi), usus
terburai dan anak kecil lainnya yang punggung atau bahunya terbelah
lebar dan dalam bekas bacokan. Disisi lain tampak pula mayat-mayat orang
dewasa termasuk para wanita dewasa. Mayat seorang ibu terlihat
pergelangan tangannya putus rata dibacok dengan senjata yang sangat
tajam yang menyebabkan bekas bacokannya sangat ‘rata’.
Suatu
rekaman video penutup akhirnya diputarkan yang menyebabkan teriakan
ledakan marah para pemuda ormas Islam yang ikut hadir disertai teriakan
histeris para wartawan yang ikut menyaksikan.
Andi Baso, tokoh penandatan
Dalam
rekaman ini tampak seorang pemuda muslim Poso sedang dikeroyok oleh
sekelompok pemuda Kristen Radikal (istilah yang dikemukakan Habib Rizieq
untuk membedakannya dengan umat Kristen umum). Sebuah golok telah
menyabet kulit kepala pemuda tersebut hingga terkelupas selebar dan
setebal kue serabi, sehingga terlihat daging berwarna putih dan
kelupasan kulit kepala yang masih menggantung di kepalanya
terumbai-umbai ketika ia bergerak kesana kemari. Pemuda muslim ini
terlihat masih bisa berdiri dan teriak-teriak minta tolong pada polisi
bersenjata lengkap yang ada disekitarnya namun tak berdaya atau tak
berani atau tak mau bertindak tegas. Beberapa pemuda Kristen Radikal
terlihat masih terus memukulnya dengan kayu, sementara seorang pemuda
lainnya menombak dada kiri pemuda malang tersebut dengan sebilah bambu
runcing. Pemuda tersebut melepas tombak bambu itu dengan tangannya, lalu
dengan kepala yang berlumuran darah, kulit kepala terkelupas, baju
penuh darah, ia berjalan terhuyung menuju mobil polisi yang ada 3 meter
disampingnya. Sesaat terlihat kelupasan kulit kepala pemuda tersebut
masih melambai tergantung diatas telinganya akibat gerakan tubuhnya.
Seorang polisi yang ada dalam mobil tersebut mengusirnya ketika pemuda
malang itu minta perlindungan, mungkin polisi itu jijik
mempersilahkannya masuk ke mobil atau bisa juga ia takut melindungi
pemuda itu sementara puluhan pemuda Kristen Radikal sedang memukulinya.
Walau akhirnya pemuda malang tersebut bisa diselamatkan ke sebuah mobil
patroli bak terbuka polisi, namun dari sekitar 20 – 30 polisi yang ada
di lokasi hanya 1-2 orang yang terlihat berusaha melerai, namun dengan
cara seadanya.
Andi
Baso, tokoh penandatangan Perjanjian Malino, yang ikut hadir
menjelaskan bahwa itu masih belum apa-apa dibanding laporan yang ia
terima dimana beberapa wanita dewasa di suatu desa di Poso diperkosa
para Kristen Radikal dan beberapa diantaranya kemaluannya dimasukkan
botol dengan paksa, ditendang kemaluannya, dan lalu sebagian mati
ditempat. Kabar lain mengatakan Tibo pernah menyembelih seorang anak
kecil dan meminum darahnya yang sedang mengalir dari lehernya langsung
ke mulutnya.
Kecemburuan Sosial Sebagai Sumbu Perang Antar Umat Beragama Poso
Menurut
Andi Baso, pemicu awal perang Poso adalah kecemburuan sosial dari umat
Kristen terhadap kemajuan umat Islam di Poso. Warga Kristen Poso sudah
biasa menenggak minuman keras sehingga bangun telat, ke ladang telat,
kerja telat, akhirnya ekonomi memburuk. Sedang warga muslim, ditambah
pengaruh transmigran muslim dari Jawa, yang selalu bangun subuh untuk
sholat subuh, lalu berangkat kerja sejak subuh, lantas lebih cepat maju.
Akibat kemajuan ekonomi umat Islam, lantas lebih banyak mesjid
dibangun, lalu uang lebih banyak tersedia untuk beli pengeras suara.
Kemajuan rumah ibadah dan pengeras suara ini merupakan friksi awal yang
memulai kecemburuan sosial. Secara logika dalam situasi seperti ini
provokasi dari luar lebih mudah meledakkan umat Kristen, sebaliknya
tidak ada artinya provokasi bagi umat Islam yang tidak memiliki
kecemburuan sosial.
Perjanjian Malino
Ditandatanganinya
Perjanjian Malino adalah langkah akhir pihak Kristen Radikal untuk
‘menyerah’ akibat kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh sebagian
diantaranya adalah para 16 DPO muslim yang kini dicari-cari polisi.
Kalau saja Kristen Radikal tidak kalah rasanya tidak akan mau mereka
menandatangani perjanjian Malino ini. Jadi bagi mereka Perjanjian Malino
menjadi semacam alat untuk melindungi mereka dari kehancuran yang lebih
besar lagi dalam perang antar umat beragama ini. Hal ini terbukti bahwa
Perjanjian Malino dijadikan alat untuk mengulur waktu bagi mereka untuk
menyusun kekuatan menyerang balik. Dan serangan balik ini benar-benar
akhirnya terjadi.
Pasca Hukuman Mati Tibo Cs : Berubah Menjadi Perang Dengan Aparat Brimob & TNI
Kekejaman
umat Kristen Radikal yang antara lain dipimpin oleh Tibo Cs telah
menewaskan lebih dari 2000 umat Islam Poso. Perjanjian Malino
ditandatangani, dan Tibo Cs dihukum mati. Umat Islam lega, tapi hanya
sebentar. Karena pembantaian masih terjadi.
Kesepakatan Malino
dinodai, ketika senjata diserahkan ke kepolisian, umat Islam pun
diserang lagi. Umat Islampun membalas. Bom meledak, pelajar dibunuh, dan
sebagainya. Kepolisian kemudian menetapkan 16 Daftar Pencarian Orang
(DPO) muslim Poso yang dianggap sebagai penyebab. Penetapan 16 DPO
inilah yang lantas merubah peta perang yang tadinya antara Kristen
Radikal dengan umat Islam Poso menjadi antara Aparat Kepolisian &
TNI dengan umat Islam Poso. Kristen Radikal pun undur sejenak,
diperkirakan mereka menyimpan senjatanya sementara.
Umat Islam
Poso berjanji akan menyerahkan 16 DPO muslim asalkan 19 tokoh Kristen
Radikal (termasuk Pendeta Damanik) yang disebutkan Tibo Cs sebagai
dalang penggerak Kristen Radikal agar juga diperiksa. Ini prinsip
keadilan. Syarat lain yang mereka kemukakan adalah agar DPO diperiksa
sebagai tersangka bukan sebagai pesakitan. Sangat sulit bagi keluarga
DPO dan warga muslim Poso untuk menyerahkan 16 DPO ini karena
kenyataannya beberapa saudara kandung DPO yang diciduk saja disiksa lalu
mati dibunuh (namun polisi mengatakannya mati karena sakit). Kalau
saudaranya si DPO saja disiksa dan dibunuh, bagaimana pula dengan DPO
nya sendiri. Ketika berita di media massa melaporkan bahwa belasan
muslim penyerang Brimob berhasil ditembak polisi, sungguh ini berita
bohong. Menurut kesaksian mereka, yang terbunuh ada yang wanita dan
anak-anak. Bahkan ketika dikatakan ada pelindung DPO yang terbunuh,
sebenarnya mereka sudah diciduk beberapa hari sebelumnya, kemungkinan
dibawa kesana untuk dibunuh sehingga solah-olah terbunuh saat baku
tembak.
Di stasiun TV kita lihat minggu lalu sekitar 8 orang
penduduk sipil yang melapor karena disiksa oleh Kepolisian karena
tinggal di wilayah DPO. Ustadz Ahmad sendiri menyaksikan seorang
temannya ditembaki polisi, dan ketika ia menanyakan alasannya, polisi
(Brimob) mengatakan alasannya karena ia memukul-mukul tiang listrik.
Apakah memukul tiang listrik suatu tindakan kejahatan ? Ketika dikejar
terus dengan protes, pak Polisi hanya bilang ini keputusan politik,
bukan keputusan kami. Lha.. Ini cermin tindakan berlebihan Brimob dan
TNI terhadap umat Islam. Kenapa tindakan tegas tidak mereka dilakukan
ketika pemuda muslim Poso dikeroyok, ditombak dan dibacok di depan
polisi hingga kulit kepalanya terkelupas terumbai-umbai.
Kasus Poso Tidak Boleh Diputihkan
Habib
Rizieq yang hadir di Komnas HAM mengatakan bahwa ia menolak keras sikap
Wapres Jusuf Kalla yang hanya menindak tegas setiap pelaku kerusuhan
pasca Perjajian Malino. Sikap ini berarti mengganggap bahwa kasus
sebelum Malino diputihkan alias tidak perlu dipermasalahkan lagi. Tidak
ada kasus kriminal yang boleh diputihkan, katanya. Perhatikan, bahwa
masa sebelum Perjanjian Malino adalah masa pembantaian 2000 umat Islam
oleh Kristen Radikal dibawah kendali 19 orang yang disebutkan Tibo Cs.
Bagaimana
kematian 2000 umat Islam Poso dianggap tidak pernah ada. Sedangkan masa
Pasca Malino adalah masa terjadinya kasus pembalasan umat Islam (16
DPO) terhadap Kristen Radikal akibat pelanggaran mereka terhadap
Perjanjian Malino (penyerangan perkampungan muslim).
Ketika Habib
Rizieq diminta pemerintah menengahi kasus Poso dan 16 DPO ini, ia
mendengar dari seorang ibu yang anaknya termasuk seorang DPO, bahwa 16
DPO siap menyerahkan diri asal dengan syarat 19 daftar nama Kristen
Radikal yang disebut Tibo Cs juga diproses, syarat kedua, ada jaminan
tidak disiksa. Ibu itu berkala lagi, baginya lebih senang menerima mayat
anaknya mati terbunuh di medan perang dari pada menyaksikan anaknya
kembali dari Kepolisian dalam keadaan cacat akibat disiksa. Ingat, DPO
adalah tersangka, artinya belum tentu mereka bersalah, karena masih
harus melalui proses pengadilan untuk membuktikannya.
Media Massa pun Ikut Tidak Adil
Ketika
belasan umat Islam Poso tewas dalam serangan Brimob ke perkampungan
muslim untuk mencari para DPO, sementara itu hanya 1 orang anggota
Brimob yang tewas, maka hampir semua media massa memberitakan kesedihan
yang meliputi keluarga sang Brimob. Bahkan berita dukacita kematian
anggota Brimob ini dibahas tuntas hingga ke kehidupan pribadinya selama
ini dan kemudian diulang-ulang dalam setiap pemberitaan berikutnya dalam
durasi yang panjang. Seandainya penderitaan, penyiksaan dan kekejaman
terhadap umat Islam Poso dapat ditayangkan seluruhnya secara lengkap di
TV, maka saya yakin tak ada seorangpun yang tertarik lagi menonton
infotainment.
Sementara itu ketika rekaman video yang disebut
diatas ditayangkan di Komnas HAM, puluhan wartawan yang hadir berteriak
histeris atau meringis jijik. Namun malamnya atau sorenya, ketika
kunjungan ke Komnas HAM diberitakan, isinya hanya menyatakan bahwa
‘sekelompok umat Islam yang menamakan dirinya Forum Umat Islam
mendatangi Komnas Ham untuk meneliti kasus Poso’ . Lantas wawancara yang
disiarkanpun adalah wawancara terhadap salah satu wakil Komnas HAM,
yang komentarnya akan mempelajari kasus ini karena mereka harus menerima
informasi dari berbagai sumber. Ketika menampilkan orang yang sedang
berdemopun hanya ditampilkan 4 – 5 orang yang berseragam hitam-hitam,
padahal peserta demo hari itu ada sekitar 150 orang dari FPI, HT, Bulan
Bintang dan MMI. Sungguh mereka tidak menampilkan pernyataan keras Ust.
Abu Bakar Ba’asyir yang mengatakan siap menyerukan jihad umum kepada
seluruh umat Islam Indonesia bila penyelesaian Poso tidak adil. Atau
pernyataan Habib Rizieq yang menuntut Komnas HAM mengajukan Yufus Kalla
dan mantan kepala BIN, Hendropriyono, agar diperiksa karena melindungi
kejahatan terhadap umat Islam.
Apalagi harian Kompas, yang
memberitakan tokoh Muslim Poso, Ust. Adnan Arsal, menganjurkan 16 DPO
menyerahkan diri. Tapi Kompas tidak ada atau tidak lengkap menuliskan
syarat-syarat yang dikemukakan Ust. Adnan Arsal agar DPO mau menyerahkan
diri.
Jusuf Kalla dan Logika Peran Tokoh Islam
Perhatikan
logika ini dengan baik ! Masalah Poso dalam kacamata Islam harus
diselesaikan dengan pendekatan Nahi Munkar (memberantas kejahatan),
bukan sekedar Amar Ma’ruf (mengajak berbuat baik). Sabtu malam, 27
Januari 2007, Wapres Yusuf Kalla mengundang tokoh Islam untuk
mendiskusikan penyelesaian Poso. Setelah selama ini pak Yusuf ini
mendengar laporan Poso dari sisa-sisa informasi dari Ketua BIN yang
lama, Hendropriyono (yang pernah tersangkut kasus pembantaian Muslim
Lampung), maka rupanya pak Yufuf ini mencoba mencari solusi dialog
dengan tokoh Islam. Ia sendiri yang mendefinisikan siapa tokoh Islam
yang pantas menyelesaikan masalah semacam ini.
Secara logika,
maka seharusnya yang diundang adalah ahli nahi munkar atau tokoh ormas
Islam yang bergerak dibidang nahi munkar, antara lain FPI, MMI, FUI, dan
lain-lain. Lucunya yang diundang adalah tokoh organisasi amar makruf
dan organisasi politik Islam, seperti NU, Muhammadiyah, PKS, dll. Bahkan
diundang juga tokoh ‘intelektual’ muslim semacam Komarudin Hidayat dan
Syafi’i Maarif. Kalaupun Ja’far Umar Thalib (mantan Panglima Laskar
Jihad) diundang dalam acara ini, tentulah dengan pertimbangan bahwa ia
seorang mantan organisasi perjuangan nahi munkar yang kabarnya kini
sudah ‘menyesali’ perbuatannya dan kini fokus ke amar makruf.
Bagaimana
suatu masalah Nahi Munkar diselesaikan oleh tokoh-tokoh agama yang
spesialis Amar Makruf ? Katakanlah mereka cukup memahami masalah Nahi
Munkar, tapi toh sebatas wacana atau paling tinggi dalam level di mimbar
mesjid, bukan dalam pergerakan konkret di lapangan. Adalah wajar bila
saksi mata atau intel Islam di Poso selama ini melaporkan kekejaman
musuh Islam kepada tokoh-tokoh ormas Nahi Munkar semacam Habib Rizieq
atau Ust Abubakar. Toh tidak mungkinlah mereka melaporkan hal semacam
ini kepada partai PKS atau Gusdur atau Aa Gym atau Syafii Maarif atau
Komarudin Hidayat. Ini sama juga diibaratkan seorang Presiden meminta
pendapat Menteri Keuangan untuk mencari jalan keluar terhadap masalah
keamanan atau masalah suatu peperangan. Pastilah sang Menteri Keuangan
melihatnya dari kacamata budget dan laba rugi.
Detik ini
Detik
ini, ketika Anda sedang membaca tulisan ini. Bisa saja Pak Yusuf Kalla
lagi istirahat di tempat tidurnya yang empuk. Bisa saja Hendropriyono
lagi karaoke dengan mantan Jenderal lainnya. Bisa saja sementara itu
Anda sedang duduk di kafe sambil membaca tulisan ini ditemani secangkir
kopi. Bisa saja saat ini seorang warga muslim Poso sedang diperiksa oleh
Brimob bagian interogasi lantas dijepit keras kedua kakinya dengan dua
potong kayu bergerigi yang dirantai agar mengaku atau mengarang cerita
palsu. Bisa saja lubang gigi geraham seorang anggota keluarga DPO detik
ini sedang ditusuk dengan benda runcing agar mengaku dimana
menyembunyikan DPOnya. Atau kaki seorang muslim Poso baru saja
dipatahkan dengan benda tumpul karena tidak mau bekerjasama dengan
Brimob.
Bagi yang prihatin atau berpihak pada umat Islam Poso,
minimal anda bisa mendoakan mereka saat ini juga. Bagi yang tidak peduli
atau yang membenci umat Islam Poso, timbul rasa penasaran saya untuk
melihat bagaimana kelak Allah akan memperlakukan mereka di akhirat.
(Syarifuddin Ambalawi)
Tolong MIOL u/ di publish ini,karena ini sebuah realita.
|
|